Seorang Perempuan yang Perempuan



Belakangan ini, diusia yang saya pahami masih sebagai remaja, saya merasa banyak dirundung oleh pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana menjadi perempuan yang perempuan. Pertanyaan tersebut tidak hanya saya dapatkan dari teman sesirkelan, bisa dari berbagai penjuru, bisa disampaikan secara langsung maupun tidak. Barangkali, menjadi perempuan di zaman oligarki ini memang sudah serupa tuntutan, tuntutan terhadap perempuan, tentu saja. Dan siapa yang berani menolak, terlebih menantang ?

Bukan tanpa alasan, dewasa ini, pelbagai video-video yang berisikan tutorial skinkeran dan dandan, -dari cara berdandan untuk acara formal, ootd, kuliah, sampai cuma rebahan di kasur saja- telah menguasai jagat media online -paling tidak- di setiap timeline di media sosial saya. Hal tersebut seperti telah menjawab seputar masalah yang ada. Berdandan, seperti yang diyakini menjadi simbol yang melekat pada perempuan, tidak heran, jika pada akhirnya perempuan menghamba pada kecantikan, kecantikan yang dimodifikasi banyak orang,

Demi apa, kanal kecantikan yang direpresentasikan melalui bentuk tubuh tinggi semampai, kurus, langsing dan tekstur kulit yang mulus, putih lengkap dengan review-review produknya kini makin merajalela. Sialnya, hal tersebut seperti telah menjadi kiblat standar keperempuanan. Seolah untuk mau apatis, bisa-bisa keperempuananmu dipertanyakan dan menjadi tidak terkesan. Kalau sudah begini, seperti kehilangan pilihan, kan ?

Akan tetapi, benarkah untuk menjadi perempuan yang perempuan harus selalu sempurna dengan polesan di wajahnya? Harus selalu yang tinggi dan berkulit sutera ? Dan di segala kondisi, tentu, harus menjaga penampilannya agar tetap terlihat feminim, kekinian, dan Marxis eh manis? Atau, perempuan bisa dikatakan perempuan jika sudah mampu mengenal seluruh produk kecantikan beserta nutrisi-nutrisi yang terkandung di dalamnya sebagai komposisi paling epik dalam peremajaan kulit ?

Banyak kita dengar bagaimana seharusnya menjadi perempuan. Menjadi perempuan, berarti kamu harus bisa dandan, harus bisa menjaga penampilan, harus bisa pakai ini, ini, dan ini. Menjadi perempuan, berarti kamu harus hafal ramuan kecantikan, kamu harus putih, kamu harus langsing, kamu harus ayu, kamu harus —Sepertinya cukup saya menuliskan daftar 'menjadi perempuan harus' sampai di sini saja.

Begitulah kiranya sedikit banyak lontaran keharusan yang ditujukan kepada perempuan. Sudah terlalu banyak pihak yang mendikte, termasuk pandangan yang lahir dari keluarga, budaya, bahkan agama yang bisa berbeda-beda. Masing-masing tentu memiliki standarnya sendiri tentang bagaimana cara menjadikan perempuan agar perempuan, tanpa mempertimbangkan dampak apa yang bakal diterima oleh perempuan.

Belum lagi media yang ditunggangi kapitalis yang (mungkin) akan membentuk perempuan menjadi sangat konsumtif demi mencapai nilai-nilai dan standar Juguun Ianfu yang didewakan itu, perlu isi tas lebih untuk memenuhi komposisi wajah dan tekstur kulit yang tak menghabiskan sedikit jumlahnya dan waktu yang tak sebentar hitungannya.

Hal ini benar saya temukan pada teman saya sendiri, ia satu fakultas dengan saya, ia berkulit hitam memang, dan atas segala stereotip bahwa hitam menunjukan tingkat sosial yang rendah, orang jawa, hitam, tidak ayu, membuat teman saya ini harus terseok-seok untuk memutihkan kulitnya. Bayangkan, hal ekstreem apa yang telah ia lakukan, demi mendapatkan kulit putih ia rela mengeluarkan uang lebih banyak, bahkan bisa mengalahkan uang kuliahnya. Pernah juga ia membeli produk pencerah wajah yang harganya bisa bikin merinding, produk itu, yang seharusnya hanya dipakaikan ke wajah, ia juga pakaikan pada seluruh tubuhnya. Bayangkan saja, akan-akan produk mahal itu bisa dipakai berkali-kali, tandas sekali pakai itu.

Saya tidak anti-makeup-makeup club, tentu saja. Bahkan saya tengah gemar mempersolek diri dengan panduan -yang paling sering- di YouTube. Pun, saya juga memiliki teman yang telah saya nobatkan sebagai Dewan Penasehat Skinker. Namun, saya kira, perempuan dapat menikmati setiap make up, tap-tap skinker, beserta atribut yang dikenakan atas nama mencintai diri sendiri, dan tidak lupa, melakukannya dengan hati yang gembira.

Saya pribadi percaya, bahwa perempuan bisa menetapkan nilai dan standar cantiknya sendiri untuk tetap bertahan dalam arus konformitas yang membingungkan sekarang ini. Perempuan bisa tetap menjalani kehidupannya dengan standar kecantikan yang ia yakini, tidak ndakik-ndakik laiknya nilai yang ditawarkan dan ditanamkan oleh lingkungan kepada dirinya yang mungkin saja dapat berpotensi negatif terhadap perempuan itu sendiri.

Meski terlihat muskil ketika perempuan meredefinisi standar kecantikan tersebut. Namun kiranya, kita, perempuan tetap berani. Berani untuk menjadi perempuan yang punya arti lebih luas dari tata rias,  yang punya alasan lebih jelas dari aturan yang melintas, yang berani menata diri, hidup, dan hati dengan mengadopsi standar sendiri. Karena kita adalah perempuan yang perempuan, seperti definisi yang kita yakini dan tetapkan

0 Response to "Seorang Perempuan yang Perempuan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel