RA Lasminingrat: Literasi untuk Si(apa)?

(Sebuah Perlawanan Budaya Tanding dan Upaya Memecah Kebisuan Perempuan Pribumi)


“Lasminingrat, sebagai pribumi, ia mampu  merawat dan mengasihi budaya luhur.
Sebagai perempuan, ia memenangkan perang kebisuan.”

(Raden Ayu Lasminingrat - Info Garut)

Dalam hidup ini, akan ada yang lebih kita rindui dari sekadar kejayaan intelektual. Jika kita menarik kembali memori lama, ingatan tentang perjuangan orang-orang besar nun berpengaruh pada zamannya, tentang torehan perlawanannya, tentang pengorbanannya, juga pemikirannya yang sejarah sendiri telah mencatat tanpa cacat sedikitpun untuknya. -Lebih dari itu, tentang bagaimana para pendahulu hidup, dihidupi, dan menghidupi budaya, menyadarkan kita akan nilai pengorbanan, kemanusiaan, dan nilai luhur nurani yang memandang kebudayaan sebagai kebaikan, sebagai cinta yang perlu dirawat juga dikasihi.

Raden Ayu Lasminingrat, sosok perempuan ayu lagi cerdas, lahir pada tahun 1843 di Kota Intan Garut, seorang keturunan ningrat dari Raden Haji Muhammad Musa dan Raden Ayu Rija itu telah mengajarkan kita bagaimana semasa hidupnya, tidak pernah tidak, barang sebentar saja ia meninggalkan perihal literasi. Ditangan Lasmi, literasi serupa kunci, bahwa dengan literasi, ia dapat mengajarkan baca tulis secara bersamaan dengan mengenalkan dan merawat budaya tanah Sunda. 

Hal ini sebenarnya telah diterapkannya persis ketika sedang berada di sebuah tempat pengungsian, Waaspojok, Bayongbong. Perang kemerdekaan telah memaksanya untuk mencari tempat perlindungan lain di atas bukit lengkap dengan terjalnya jalan, kedua kaki yang lembut lagi lantak itu tertatih menuju Waaspojok, namun ia tidak lantas hanya berdiam diri, Lasmi mencoba berbaur dengan masyarakat pun anak-anak sekitar, mengenalkan buku-buku sekaligus mengajarkannya. Cerita-cerita yang disajikan dalam khas Sunda tentu memiliki nilai tersendiri, nilai kepedulian yang terus ditularkan, hingga sampai pada budaya luhur itu lekat dan tertanam subur pada diri mereka.

Akan tetapi, barangkali nasib baik belum saja berpihak pada Lasminingrat, siapa yang berani menjamin keamanannya disana? Lasminingrat mengalami pesakitan, ia ditandu menuju kepulangannya ke tanah dimana ia dilahirkan. Lasminingrat, kini tanah yang pernah tersenyum atas kelahiranmu, persis serupa perayaan itu, pada 10 April 1948 tanah kelahiranmu juga turut menangis atas berpulangnya putri kesayangan tanah Sunda ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. 

“Betapapun hanya koma yang telah melekat pada diri kita, sekalipun hanya sebagai tanda yang jarang tertangkap oleh mata, itulah yang kemudian akan dikenang sebagai kita, bahkan setelah kita tiada”

Lasminingrat berpulang tidak hanya meninggalkan nama besarnya, ide dan gagasannya pun tertuang apik pada catatan-catatan sejarah perjalanannya, tiga karya berbentuk cerita anak dengan masing-masing berjudul Carita Erman, Warnasari, dan Warnasari Jilid 2 yang ia wariskan telah menjadi bukti paling konkrit bahwa kecintaanya terhadap literasi juga menunjukan kecintaanya terhadap masyarakat Garut-Sunda.

Ketiga buku tersebut merupakan buku terjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda. Bukan, Lasminingrat bukan hanya sekadar mengalihbahasakan dongeng-dongeng Belanda yang di terbitkan di Batavia oleh penerbit Landsdrukkerij,-lebih dari itu, ia berhasil mengadopsi cerita-cerita tersebut agar relevan dengan alam dan budaya tatar Sunda. Disini, Lasminingrat sangat paham bahwa kebudayaan tidak boleh hilang begitu saja, budaya luhur tak boleh tergantikan begitu saja hanya karena tanah sedang dijajah, ia mengerti bahwa akan ada anak cucunya yang kemudian harus diwarisi bukan lagi perihal materi, akan tetapi budaya leluhur yang dijadikan sebagai prasasti kecintaan kepada tanah sendiri.

Perihal Lasmi, bukankah seharusnya kita lebih dahulu menyadari bahwa perjuangan yang ditorehkan melalui saduran tulisannya, dimana ketika ia memberikan sentuhan Islam juga nama-nama khas orang Sunda, layiknya turut kita amini bahwa perjuangan melawan budaya tanding pada wilayah yang kala itu dikuasai oleh Eropa menjadi pengorbanan yang sangat perlu kita apresiasi. Barangkali tidak hanya sekadar kalimat-kalimat yang menunjukkan sikap apresiasi, justeru tugas untuk tetap menjaga konsistensi sebagai Tanah Priangan dengan segala tatanan sosial budaya yang diwariskan, yang tak boleh begitu saja dilupakan. 

Lasmi, ia boleh dididik oleh orang-orang liberal, tapi jati dirinya sebagai Islam tak lantas kita ragukan, Lasmi boleh belajar dengan budaya modern, namun ia tetap si perempuan intelektual Barat dari Timur.

Andai kata jika Lasminingrat memang sudah benar-benar menjadi Eropa kala itu, hanya karena ia seorang ningrat dan ia banyak dikelilingi oleh orang-orang belanda, bukan tidak mungkin jika kemudian ia enggan memilih menerjemahkan dongeng-dongeng Belanda ke dalam bahasa Sunda maupun bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat Sunda, mengingat juga ada tujuh bahasa yang mampu ia kuasai dengan apik. Akan tetapi, Lasminingrat telah mengajarkan kita arti kesetiaan, Lasminingrat mendidik masyarakat dengan karya-karyanya yang ditulis sedemikian ringan agar dapat mudah dipahami dan membumi di tatar Sunda, ia juga mengenalkan nama-nama khas masyarakat Sunda melalui tokoh-tokoh yang ia tuliskan, yang barang tentu tak dapat ditemukan pada dongeng-dongeng karya asli dari Belanda tersebut.

Dari banyak pilihan kata, nama, bahasa, serta latar tempat pada dongeng yang ia terjemahkan,  bukankah telah dalam menampakkan bahwa sekalipun ia berada pada lingkaran orang-orang Belanda. Seorang Lasminingrat, ia teguh menjaga integritasnya sebagai bukan hanya perempuan intelektual, namun ia juga menunjukan kepeloporannya menjaga budaya tanah kelahirannya ke dalam dunia sastra, sebab ia sadar betul kepada siapa dan untuk apa kemudian literasi yang diajarkan akan bermuara?.

Memecah Kebisuan Perempuan Pribumi


Sosok perempuan dengan pribadinya yang lemah lembut, justeru ia mengajak perempuan lain untuk kuat, dengan individunya yang terbatas, ia mengajak kita semua untuk melampaui diri lebih dari optimisme. Orang-orang yang memiliki pemikiran juga perjuangan besar seperti ini begitu memberikan semangat untuk maju, sepayah apapun jalan itu.

Raden Ayu Lasminingjat, tokoh perempuan intelektual yang telah menyatu pada setiap desiran angin di sudut kota Garut, memberikan ruang tersendiri, ruang yang tak akan sesak dikunjungi, ruang yang menorah segala gerik perjuangan memecah bisu suara perempuan pribumi yang mengendap dalam ruang-ruang hampa yang diciptakan Eropa. 

Eropa dengan segala kekuasaan di genggamannya, meredupkan secercah harapan perempuan pribumi untuk berdikari, akses pendidikan hanya diberikan kepada mereka yang melampaui garis kemiskinannya, kepada mereka yang fasih menggunakan bahasa Belanda. Sekolah yang didirikan pada tahun 1876 di Batavia (Jakarta) memang sepertinya sengaja diperuntukkan kepada gadis Eropa, sekolah yang juga merupakan sekolah khusus perempuan pertama di Indonesia, namun, tidak sedikit perempuan Indonesia -kecuali mereka, si keturunan darah biru yang keluarganya berada pada jajaran pemerintahan Belanda-, barang setapak saja diizinkan menginjakkan kakinya.

Menyadari luputnya perhatian pendidikan untuk perempuan pribumi, tokoh perempuan yang telah  berhasil memperoleh pendidikan modern ini sesungguhnya adalah pionir dalam menunjukkan kemampuan intelektual perempuan pribumi berdasarkan ilmu pengetahuan Barat. Lasmi mulai mengerti bagaimana pelajaran tentang pendidikan bagi kaum perempuan mulai dirasa penting, semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mulai bangkit dari jiwanya. Hal ini dibuktikan dengan caranya yang begitu halus. Perempuan yang akrab dipanggil Sartjie itu, memiliki kematangan dalam bersikap, Lasminingrat memilih sikap lebih pelan, mengajari perempuan-perempuan pribumi, membekalinya pengetahuan melalui sastra. Lalu turut mengelola sekolah yang didirikan ayahnya, Raden Muhammad Moesa pada tahun 1874 (Bijzondere Europeesche School) dan kemudian mendirikan Sekolah Keutamaan Istri.

Datang sebagai perintis pendidikan bagi perempuan pribumi tentu tak lepas dari pengaruh dan dukungan dari ayahanda Lasmi, Keberanian ayahnya itu menginspirasi Lasminingrat untuk melakukan hal yang sama. Pada tahun 1907, dengan cara menuangkan pemikirannya tentang pendidikan perempuan, R.A Lasminingrat mendirikan sekolah kautaman istri di Kabupaten Garut. Sekolah itu pada awalnya dilaksanakan di pendopo dengan menggunakan ruang gamelan. Untuk pertama kalinya murid-murid sekolah kautaman istri diambil dari lingkungan keluarga dalem, keluarga Lasminingrat yang memiliki anak perempuan wajib menyekolahkan anaknya. Setelah perjuangan Lasminingrat itu menyebar luas, maka berdirilah beberapa sekolah khusus perempuan di tanah Pasundan.  

Akan tetapi, betapapun perjuangan Lasminingrat dalam mencerdaskan perempuan pribumi tidak hanya berhenti sampai titik dimana ia mampu mengambil alih pendidikan yang dibangun Belanda. Adat-istiadat tradisional pun kurang mendukung pendidikan untuk kaum perempuan. Penduduk sendiri merasa tidak ada manfaat untuk mendidik gadis-gadis dengan cara yang sama dengan kaum lelaki. Gadis-gadis hanya memiliki peranan penting terhadap rumah tangga dan di sawah, sudah bukan lagi perihal literasi.

Hal itulah yang kemudian mempengaruhi jumlah murid lelaki jauh lebih banyak dibanding murid perempuan. Pada tahun 1877 hanya 25 anak perempuan terdaftar di sekolah pemerintah di banding dengan 12.498 anak lelaki. Pada tahun 1888 terdapat 30.767 anak laki-laki akan tetapi hanya 276 anak perempuan di sekolah. Namun, jika dilihat dari tahun 1877 sampai 1888 terdapat peningkatan untuk kaum perempuan mengenyam pendidikan walaupun halangan-halangan sosial masih terlampau kuat untuk mengijinkan kaum perempuan menikmati kesempatan belajar yang sama seperti kaum lelaki.

Pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, terenyata membuat Lasminingrat tidak diam begitu saja, keharusan untuk maju menjadi obsesi yang melekat pada dirinya, serta menjadi konsistensi yang terus dijalaninya sampai akhir hayat. Pendidikan dan bacaan yang cukup luas membuat Raden Ayu Lasminingrat percaya bahwa bangsanya sedang menuju pada perubahan, dan yang perlu ia lakukan adalah tidak berhenti berjuang, tidak berhenti mengajarkan literasi kepada perempuan pribumi, sebab iya meyakini bahwa dikemudian hari akan lahir perempuan-perempuan yang mumpuni, perempuan pribumi yang melek literasi. 

Lasminingrat telah memberikan kontribusi yang nyata. Perjuangan sakola kautamaan istri di Garut yang dikhususkan untuk kaum perempuan adalah upaya memecah kebisuan perempuan pribumi. Lasminingrat menyadari bahwa ada kecerdasan dan kepekaan yang dimiliki oleh perempuan pribumi, dan apa yang dibutuhkan perempuan pada saat itu, melebihi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, akan tetapi juga ketangkasan berpikir dan bertindak. Sebab bagimanapun, mendidik seorang laki-laki hanya membangun seorang, sedang mendidik seorang perempuan berarti membangun satu generasi.

Pada akhirnya, Lasminingrat menyadarkan kita, bahwa di genggamannya, literasi adalah segala dari upaya perjuangan yang ditunjukkan untuk apa dan siapa. Lasminingrat telah menunjukan, sebagai perempuan, dengan segala kesungguhan hati, ia berjuang tidak hanya untuk memenangkan dirinya sendiri, tetapi ia juga memenangkan hidup semua perempuan di tanah pribumi.

“Apa yang kemudian pernah diupayakan oleh Lasminingrat, kini, kita menjadi bagian dari yang diperjuangkannya, kini, kita telah merasakan hasilnya. Sebab, terkadang, apa-apa yang kita tanam tak harus selalu kita yang menuainya. Bumi ini adalah milik Bersama. Semesta tidak pernah membedakan kamu lelaki atau perempuan, semua sama, semua memiliki suara. Semua memilki cita-cita menjadi yang terbaik untuk sesamanya”
Raden Ayu Lasminingrat - Wikipedia

_
Referensi;
  • Magdalene: Lawan Perjodohan di Tatar Sunda Lewat Sastra.  https://magdalene.co/story/lasminingrat-lawan-perjodohan-di-tatar-sunda-lewat-sastra
  • Pustaka Unpad: Sang Polopor Sastra Sunda http://arsip.gatra.com/2011-10-10/majalah/artikel.php?id=150315
  • Jelajah garut: Raden Ayu Lasminingrat https://www.jelajahgarut.com/raden-ayu-lasminingrat/
  • Wikipedia: Lasminingrat https://id.wikipedia.org/wiki/Lasminingrat.
  • Harpiah, Desi. Peran Raden Ayu Lasminingrat Dalam Mengembangkan Sekolah Kautamaan Istri Tahun 1907-1948. Skripsi. Banten. UIN Sultan Maulana Hasanuddin banten. 2017. (repository.uin.banten.ac.id)
  • sc.syekhnurjati.ac.id: Kontribusi Pemikiran Raden Ayu Lasminingrat Dalam Pendidikan Perempuan
  • Budaya Saya: Lasminingrat https://youtu.be/E6pbpWaOyTM
  • Kompas: Buku Karangan Lasminingrat “Nyangkut” di Canberra - Jodhi Yudono https://amp.kompas.com/regional/read/2010/04/13/01403823/buku.karangan.lasminingrat.quotnyangkutquot.di.canberra

0 Response to "RA Lasminingrat: Literasi untuk Si(apa)?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel