Relation-Self



Kapan nikah dan rentetan pertanyaan yang semakin mendiskreditkan jomblo sapiens kini, masih kekeh memilih sendiri adalah bentuk self-love terbaik versi saya. Saya merasa berhasil menempatkan diri lebih tinggi, melebihi tekanan sosial yang bisa saja membuat orang menikahi orang yang tidak ia cintai. Ngeri.

Bukan tanpa usaha, sendiri memang kadang bisa sesepi itu. Sebelumnya, saya pernah mencoba untuk dekat dengan seorang lelaki, -yang penuh perhatian juga tak kalah posesifnya. Tidak lama dan tidak berhasil. Entah, jika ditanya sebabnya, saya akan menjawab dengan mengeleng-gelengkan kepala saja. Hingga saat dibuatnya tulisan ini, saya belum juga ingin mencoba lagi. Rasanya, kembali pada kesendirian, sama halnya dengan mengembalikan hak otoritas diri, menyanyangi diri sendiri tanpa perlu memaksa orang untuk juga turut ke dalamnya. Ya meskipun, tidak jauh halnya dengan sedang merawat sikap individualis.

Dalam waktu dekat ini, saya tidak ingin tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk dekat dengan siapa-siapa dan/atau menikah dengan siapa-siapa. Saya Ingin coba memastikan, bahwa ketika memilih melepas 'status lajang' itu karena saya menginginkannya, saya telah bersiap, saya sudah mengambil keputusan dengan banyak hal yang dipertimbangkan, tentu saja.

Bukan, bukan hanya untuk memenuhi ekspektasi lingkungan yang menekan bahwa 'Perempuan itu memiliki masa ‘kadaluwarsanya’ tidak baik menunda-nunda pernikahan. Atau, silahkan tambahkan sendiri bagaimana sekelilingmu begitu memaksa agar tidak 'terlalu lama sendiri'.

Sebenarnya, saya juga pernah begitu meratapi. Mengapa tak dengan seorang pun, saya bisa merasa lengkap, lebih, atau kurang dari ketika sendiri. Karena kadang, betapa krik-krik nya hidup tanpa kebucinan yang berarti, gagal menghayati patah hati. Tak ada bedanya dengan sepi sendiri, berdua tanpa arti.

Pun, saya pernah mengira jika jangan-jangan saya ini tidak memenuhi kualifikasi khitbah-able atau barangkali memang saya senang merawat kesoliteran ini, atau terlalu lena dengan kalimat menenangkan yang acapkali mereka lempar, seperti; kamu sedang menjadi diri kamu sendiri.

Tetapi ya entahlah, cukupkan saja. Tak ingin rasanya berlarut dibebani perihal afeksi. Saya akan pacaran, bila perlu menikah kalau saya memang ingin cum butuh. Kalau belum, saya fikir bukan masalah. Buat apa kedua hal tersebut perlu buru-buru saya dapati sampai terseok-seok jika tujuannya hanya sekadar 'melepas status lajang' atau memindahkan sprema ke ovum dengan halal. Tak perlu seburu-buru itu, lha masa urusan yang sudah melibatkan selangkangan saja masih mau biarkan orang lain juga ikut mengatur.

Saya belum punya pasangan, belum Ingin menikah, saya bahagia, dan saya merdeka. Saya juga punya cinta, tentu. Meski tanpa keterikatan seperti suami-istri, saya punya banyak teman, saya punya keluarga, saya memiliki waktu membaca buku-buku dari penulis favorit saya yang menyimpan kebahagiaan yang bisa sangat sederhana didefinisikan.

I'm just very good at being alone, dengan cara pandang dan cara menikmati yang berbeda. Lagi pula saya masih merasa muda, masih bisa ngapain saja, kemana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Mencari dan menghabiskan uang untuk apa saja, suka-suka.

Saya percaya, dengan melihat sisi-sisi baik pada kehidupan, seseorang dapat menemukan banyak hal yang membahagiakan dalam diri mereka sendiri, sebagaimana orang lain juga mendapatkannya.

Di luar sana, bukankah kita telah banyak menemukan orang yang memilih sendiri dan berbahagia, dan -meminjam kalimat Hasanudin Abdurakhman- orang-orang yang menganggap mereka tidak bahagia, justeru adalah orang-orang yang hanya paham satu jenis kebahagiaan.

0 Response to "Relation-Self"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel