Mens ?
"itu cara makenya gimana mbak?" Tanya saya yang saat ini masih penasaran dengan pentil pengganti pembalut ini.
"Ehh, jangan keras-keras. Malu di denger orang" Jawab tetangga saya dengan tangan sedikit mengisyaratkan agar sedikit mengecilkan volume pertanyaan itu.
Sial sekali dalam batin saya, hidup hampir 22 tahun sebagai perempuan dan sejak umur 13 tahun sebagai yang telah mengalami menstruasi, membicarakan seputar mens saja masih tetap dianggap tabu.
Hal ini benar-benar mengingatkan saya hampir dari satu dekade berlalu, tabu menstruasi membuat saya tidak jadi membeli pembalut di warung dekat rumah hanya karena yang melayani adalah anak laki-laki pemilik warung. Dengan jahatnya saya menolak kebutuhan tubuh saya sendiri.
Pun, betapa tabunya menstruasi membuat saya merasa tidak normal dan memalukan saat itu, menyembunyikan menstruasi yang seharusnya saya rayakan, namun, justeru hal itu membuat saya enggan mengakui bahwa saya mengalami kali pertama menstruasi yakni pada saat kelas 1 SMP. Menyedihkan, bukan?
Selama ini, jika mendapati pertanyaan kapan pertama kali mengalami mens, saya selalu menjawab kelas 3 SMP, apalagi alasannya kalau bukan karena tidak ingin dianggap dewasa sebelum waktunya, sebab sekalipun ada beberapa yang mengetahui kapan pertama kali saya mens, mereka akan sedikit sok terkejut dan berkata, "cetek banget, ya", setelah itu akan ada kalimat perbandingan dengan teman-teman perempuan sekitar yang mengalami mens diusia yang mereka yakini 'tepat waktu'.
Namun, persoalan menstruasi saya tak lantas berhenti pada persoalan stereotip dewasa sebelum waktunya, urusan darah yang keluar hingga tembus ini terkadang menyisakan trauma tersendiri. Dimana terkadang saya mendambakan 'pembalut anti bocor' itu benar-benar ampuh menyelamatkan saya dari ancaman ejekan orang-orang yang mengetahui bahwa saya sedang mens.
Barangkali media yang mengangkat iklan-iklan pembalut dengan tagline #Antibocor sudah berhasil mempengaruhi saya dan perempuan-perempuan di luar sana. Pun, Kebiruan darah dalam iklan pembalut tersebut, telah berhasil membuat perempuan mengasingkan tubuhnya sendiri. Warna biru memberikan kesan steril tapi mengeliminasi warna darah menstruasi yang sesungguhnya, dan pada akhirnya perempuan hanya mendambakan tubuh “anti-bocor” dan menjadi takut atau bahkan jijik dengan darah yang ia keluarkan.
Betapa media telah berhasil mengajarkan saya bahwa tubuh perempuan adalah hanya sebagai objek 'keindahan' semata, tapi seringkali siklus biologisnya dianggap menjijikkan. Ironis memang.
Saya sendiri kurang paham sebenarnya tentang kemudian bagaimana iklan pembalut tersebut, yang notabene ditujukkan kepada perempuan, merah darahnya di ganti dengan cairan berwarna biru.
Apakah sebenarnya penampakannya memang benar-benar memalukan dan karena 'publik' bukanlah tempatnya? Atau barangkali representasi menstruasi yang salah, sehingga memperkuat anggapan bahwa ia harus tetap berada dalam ranah privat, tak boleh dibawa keluar, sebab proses biologis dari tubuh itu sendiri adalah hal yang buruk, saru untuk disebut-sebut. Baik, jika memang benar itu adanya, saya akan menunjukan bagaimana iklan Bodyform yang berdurasi 20 detik itu menjawab.
Melalui iklan yang diluncurkannya dengan judul Blood Normal, Bodyform hancurkan tabu dan segala stigma negatif yang pernah. Iklan merek pembalut asal Inggris ini menuai banyak kritik positif karena dinilai berani membedah tabu menstruasi yang selama ini muncul di media.
Dalam wawancaranya dengan Cosmopolitan UK, Traci Baxter, marketing manager Bodyform, mengatakan bahwa pihaknya paham betul tabu menstruasi adalah sesuatu yang merusak. Mereka ingin menentang tabu tersebut dan menghilangkan stigma yang ada agar semua orang dapat membicarakan menstruasi tanpa merasa malu, sekarang dan di masa depan.
Saya merasa untuk pertama kalinya, iklan mengenai menstruasi ini digambarkan dengan begitu tepat. Tidak ada cairan biru disana, yang ada adalah cairan yang mempresentasikan bahwa darah itu merah, -- yang kemudian cairan tersebut dituangkan ke permukaan pembalut. Iklan ini juga menunjukkan adegan bagaimana saat darah menstruasi mengalir di paha perempuan yang sedang mandi dan seorang laki-laki yang dengan santainya membeli pembalut di minimarket dan membawanya ke kasir.
Lalu bagaimana di Indonesia? Saya sebenarnya juga tak seberharap itu terlebih ide pemasaran semacam ini juga tidak akan menjual. Bayangkan, peristiwa menstruasi saja masih sangat tabu untuk didiskusikan, apalagi mengganti warna cairan biru dengan warna merah pada iklan televisi yang bisa dijangkau oleh masyarakat luas, alih-alih menaikkan profit malah berujung boikot.
Terlepas dari seperangkat iklan itu ya sesungguhnya saya, sebagai perempuan, ayolah! perempuan bercelana putih yang tidur di atas pembalut raksasa itu sudah usang. Bila penggambaran darah menstruasi dengan warna merah masih dianggap terlalu revolusioner, produsen pembalut bisa membuat iklan yang mempromosikan tubuh perempuan yang sedang bermenstruasi dengan lebih positif. Tunjukkan bahwa perempuan menstruasi adalah perempuan yang kuat dan mencintai tubuhnya.
Saya tidak mau ke depan ada generasi masa depan tumbuh di dunia dan mereka masih malu, takut, bahkan jijik dengan normalnya darah 'merah' dari menstruasi. Karena bagi saya, menolak menstruasi adalah menolak siklus kehidupan.
0 Response to "Mens ?"
Post a Comment