Fenomena Sunyi: Kekerasan dalam Pacaran 2
Sebelumnya saya pernah menulis tentang bagaimana kekerasan dalam pacaran itu, sebenarnya juga diamini oleh keduabelah pihak yang bersangkutan. Alasannya cukup variatif agar dapat melanjutkan hubungan yang bisa dikatakan, paling tidak, menurut saya, tidak sehat.
Kekerasan dalam pacaran juga tidak kalah telak dari yang diakibatkan oleh seks. Pada kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, seks, tidak jarang dijadikan mereka sebagai senjata. Bagaimana tidak, jika mereka sudah berpikir ketika telah melakukan hubungan seksual dengan pasangan, maka mereka berhak memiliki hidup pasangannya. Bukan, bukan hanya itu saja, yang lebih parahnya bisa jadi mereka juga merebut hak otoritas tubuh pasangannya.
Terlebih hidup di tengah masyarakat yang menabukan hal-hal berbau seksualitas dan mengkultuskan keperawanan, para korban kekerasan dalam pacaran menjadi tidak berani mengungkapkan masalahnya karena takut dihakimi, takut mendapat penolakan dari masyarakat, meski sebenarnya korban akan lebih-lebih takut lagi jika kemudian ia akan mendapatkan kekerasan yang kesekian-kesekian oleh laki-laki yang mau menikahinya.
Tidak sedikit memang, perspektif mengenai seksual dan keperawanan ini, termasuk ke dalam faktor paling besar perempuan tetap menjalani hubungan yang tidak sehat tersebut, tetap meng'iya'kan ajakan pasangannya, --yang bukan tidak mungkin kekerasan dalam berhubungan seksual juga acapkali dilakukan. Itu cukup mudah saya temukan, apalagi maraknya fenomena 'sex before marriage'. Hal inilah yang kemudian membuat situasinya semakin kompleks.
Hari ini, saya kembali melihat sebuah gambar tangkapan layar yang berisi tentang obrolan sepasang kekasih yang ditinggal pacarnya ketika telah berhasil 'menjebol' gawang keperempuanannya.
Bagaimana perempuan tersebut meminta agar pasangannya ini dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya menunjukan bahwa memang ada ketakutan tersendiri ketika pasangannya tidak mau bertanggungjawab, lelaki lain tidak juga ingin menikahinya, terlepas stigma negatif yang sudah melekat padanya. Padahal, menurut survei kecil-kecilan saya, perempuan yang menjadi korban tersebut belum tentu pyur 'sudi' dinikahi. Namun, stereotip yang dilahirkan oleh lingkungan, Barangkalilah yang membuat perempuan tersebut mengejar 'tanggungjawab' lelaki ini dalam bentuk 'pernikahan'.
Dinamika di dalam internal perempuan tersebut sangat bergejolak memang. Maka dari itu saya rasa perlu, jika menemukan hal serupa di sekeliling kita untuk membantu si korban dalam membicarakan hal-hal semacam ini, terlebih jika korban adalah teman kita sendiri, atau jika kita ragu, kita bisa merekomendasikan atau mengajaknya ke tempat seseorang yang lebih profesional agar dapat tertangani dengan baik.
Selain itu, melawan stigma negativ pada perempuan yang memilih 'sex before marriage' ini juga perlu digalakkan. Kita juga perlu mengubah perspektif yang salah mengenai selaput dara dan unsur kepemilikan terhadap pasangan.
Menggalakkan hal itu bukan berarti saya mendukung 'sex before marriage' kok. Saya hanya ingin bilang kepada mereka, para perempuan, bahwa mereka berharga itu tidak hanya dinilai dari selaput dara. Akan tetapi yang perlu diingat, bahwa pernyataan diatas sangat tidak lucu jika dijadikan alasan kita melakukan itu hanya demi bisa dikatakan gaul. Karena memang ada kesehatan reproduksi yang harus kita jaga.
Melawanlah --paling tidak dengan menulis atau berbicara jika pasanganmu begitu getol mengatur tatanan hidupmu dan ingin mendapatkan 'keperawananmu'. Karena pada akhirnya kita harus kembali pada value sendiri, kalau menurut kita diri kita penting, jaga. Kita berhak mendapat hubungan yang sehat dan membahagiakan tanpa kekerasan.
Wahyu Puji.
Ditulis ketika sedang sakit karena merasa sedang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh diri-sendiri.
0 Response to "Fenomena Sunyi: Kekerasan dalam Pacaran 2"
Post a Comment