Review Film Surat Dari Praha: Sisi Lain Kisah Seorang Eksil


"Menolak Soeharto dan mencintai Sulastri adalah dua hal yang berbeda." -Mahdi Jayasri (Tio Pakusadewo)

Sebelum menulis lebih  jauh tentang film ini, saya hanya ingin mengakui bahwa ini adalah film drama terbaik Indonesia yang pernah saya tonton. Drama, pemain, musik semuanya bersatu padu melahirkan nuansa romantis yang tidak mudah.

Belakangan saya ketahui, bahwa ternyata film ini mengangkat cerita seorang eksil, di luar ini merupakan kisah nyata atau bukan, akan tetapi film ini berhasil mengangkat sisi lain dari sejarah orde baru, orang-orang yang terdampak akibat orde baru. Film ini seolah mengingatkan, bahwa orde baru tidak hanya memisahkan Indonesia dari salah satu warga negaranya, tapi juga anak dari ibunya, seseorang dari kekasihnya, juga tanah kelahirannya.

Diawali dari percakapan dingin oleh Sulastri (Widyawati) dan Larasati (Jullie Estelle) di rumah sakit, tempat Sulastri menghembuskan nafas terakhirnya yang sebelumnya Laras, anak satu-satunya meminta hak waris. Namun tidak semudah itu, Laras harus memenuhi wasiat terakhir dari ibunya yang disampaikan melalui tante Laras untuk mendapatkan hak waris.

Wasiat itu bertuliskan agar Laras mengirim sebuah kotak misterius ke Praha kepada seseorang yang bernama Mahdi Jayasri, Pak Jaya (Tio Pakusadewo). Tidak butuh waktu lama, Laras langsung mengurus keberangkatannya ke Praha, dan langsung menuju ke apartment sederhana milik Pak Jaya.

Rencana ini tidak semulus yang Laras fikirkan, setelah berhasil menemui Pak Jaya, Laras dan kotak itu ditolak mentah-mentah. Di sinilah konflik terjadi, dan kotak kecil itu adalah akar dari segala permasalahan, permasalahan masalalu yang tak pernah terungkap, permasalahan cinta sejati yang tak pernah berakhir bersama.

"Menolak Soeharto dan mencintai Sulastri adalah dua hal yang berbeda." -Mahdi Jayasri (Tio Pakusadewo)

Akibat menolak Soeharto, Pak Jaya harus kehilangan kewarganegaraanya, dan tentu saja kekasih sejatinya, Sulastri. Pak Jaya tidak bisa kembali ke Indonesia untuk kemudian menikahi Sulastri dan hidup bersama.

Pak Jaya hanya mengirimkan surat-suratnya lewat post ke Sulastri tanpa pernah mendapat balasan, tanpa pernah tahu surat itu sampai atau tidak, tanpa pernah tahu kehidupan Sulatri pasca menerima surat-surat dari Praha tersebut, berpuluh-puluh tahun. Dan pada tahun-tahun yang dilewati tanpa balasan surat itu, Pak Jaya seolah telah mengikhlaskan semua yang telah terjadi, yang hilang, dan yang tidak akan pernah ia miliki.

"Sebelum berangkat ke Praha, saya berjanji dua hal kepada ibumu. Bahwa saya akan segera pulang dan menikahinya, itu yang pertama. Bahwa saya akan mencintainya seumur hidup saya. Tapi nasib mengijinkan saya untuk menepati yang kedua."

Film ini tidak seperti film sejarah pada umumnya, memang, Angga Dwimas Sasongko dengan berani mengangkat kisah seorang nasionalist yang dibuang jauh dari negaranya dan mengemasnya dengan fiksi romansa nan epik. Pergulatan antara idealisme dan cinta sejati menjadi pokok pada film ini. Keduanya sangat terlihat jelas dari salah satu dilaog Pak Jaya dengan Laras;

"Anda pernah menyesal?"

"Tidak ada tempat untuk penyesalan, saya tidak pernah menyesal menolak Soeharto, jika pun ada hal yang saya sesali, saya telah mengecewakan ibumu."

Saya rasa, ke depan seharusnya ada lagi film-film serupa, film sejarah yang tidak hanya saklek memonumenkan tokohnya, akan tetapi mengangkatnya dari sisi lain, agar mengenal sejarah tidak harus selalu serius dan kaku.

Saya merekomendasikan film ini untuk kalian tonton, banyak yang bisa direfleksikan dan diambil hikmahnya, pesannya, bahkan cerita-cerita sejarah, meski sedikit, yang barangkali pernah kita 'tak mau tahui' tapi ini penting.

Silakan tonton sebuah cerita yang diinspirasikan daripada kisah benar tentang pengorbanan cinta dan sebuah jawaban bagi penyembuhan luka-luka yang tersisa, mari ikuti alur keromatisan pemainnya dan sesekali menangis sesunggukan, -menangisi hidup yang berisi lebih banyak hal yang sebenarnya tidak pernah kita inginkan, kita dipaksa tidak memiliki pilihan, hingga pilihan yang tersisa adalah diri sendiri. Persis, seperti yang dituliskan Sulastri dalam surat balasan pertama dan terakhir untuk yang terkasihnya, Mahdi Jayasri.

Pemain: Julie Estelle, Rio Dewanto, Tio Pakusadewo, Chicco Jerikho, Widyawati, Jajang C. Noer dan Shafira Umm.
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Penulis: M. Irfan Ramli
Durasi: 93 menit

Top Song



2 Responses to "Review Film Surat Dari Praha: Sisi Lain Kisah Seorang Eksil"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel