[Review] Perempuan dan Orang-orang Oetimu


Dokumentasi pribadi

Saya lupa sebab saya tahu buku Orang-orang Oetimu ini dari mana, yang saya ingat, ketika selesai diskusi mingguan, senior saya sedikit menyinggung salah satu karya pemuda NTT ini, Felix K Nesi.

Saya cukup penasaran dan coba mencari tahu, namun masih sebatas ingin. Belum juga ada ikhtiyar untuk mencari informasi lebih melalui internet. Esoknya, setelah diskusi itu, saya bertemu dengan Pak Taufik Rinaldi pada agenda bedah buku. Usai bedah buku itu, saya cukup terkejut ketika beliau memperlihatkan buku Orang-orang Oetimu dan meminjamkannya kepada saya.

Pucuk dicinta, ulampun tiba.

Rasa penasaran yang sudah terakumulasi dengan gairah membaca sejak semalam itu membuat saya ingin segera menelanjangi isi cerita buku ini. Sebenarnya apa yang membuat buku ini begitu istimewa diceritakan. Bahkan sampai menjadi pemenang DKJ 2018? Hingga selesai pada bab pertama, saya memutuskan untuk membeli sendiri, dan secepatnya ingin mengetahui alur cerita yang dituliskan.

Usut punya usut, buku ini sudah mengalami pergantian judul, awalnya berjudul Duhai Hujan. Penulis, Felix K Nesi mengaku telah merombak kembali isinya sampai sedemikian apik dibaca dan dikenal sebagai Orang-Orang Oetimu.

Kesan yang saya dapat dari bagian pertama memang sungguh mengejutkan, saya sudah di suguhi dengan nasib tragis perempuan ayu bernama Laura, perempuan muda Portugis. Naas, setelah menjadi korban birahi penjajah, ia memutuskan mengakhiri, --entah hidupnya entah penderitaannya, atau malah keduanya--, setelah melahirkan anaknya, Sersan Ipi.

"Saya sudah melahirkan dengan selamat, Kek. Sekarang, biarkan saya bertemu dengan ayah ibu."

Selanjutnya, Maria,  perempuan aktivis kampus yang pernah membuat cemburu senja dengan ciuman liarnya dengan Romo Yosef, harus mengakhiri hidupnya dengan menjatuhkan diri ke bawah jembatan Liliba, tak lama setelah sebelumnya suami dan anaknya mati ditabrak kendaraan militer Indonesia.

Silvy, gadis molek lagi cerdas ini hanya dijadikan sebagai wadah pemuas seksual belaka, lelaki tak ingin beristri sampai lelaki mandul turut menyetubuhi paras eloknya. Bahkan, sejak kecil, silvy kecil sudah menyetubuhi dirinya sendiri sebab sering mendengar desahan perempuan bukan ibunya dari bilik kamar ayahnya.

Saya rasa Felix tidak serta merta tanpa alasan membubuhkan perihal seks di mana perempuanlah yang mendominasi menjadi objektifikasi seksual. Lihat saja bagaimana makna dan simbol-simbol dari hubungan 'panas' asmara itu membidani pembaca menemukan bagaimana praktik dan rahasia-rahasia mesum disembunyikan dalam kalimat-kalimat penghambaan yang begitu rapi, seolah tidak ada kata yang keluar dari bibirnya selain pujian kepada Tuhan. 

Mirisnya, cermin klise di mana hasil dari hubungan seks itu hanya benar-benar merugikan perempuan, sungguh. Lelaki sebagai yang memiliki kuasa bahkan hanya tertawa dan tidak merasa bersalah. Rasa bersalahnya hanya ketika ia tahu bahwa burungnya tidak bisa membuahi. Miris.

"...Laki-laki diciptakan memang bukan untuk memahami, tapi hanya untuk bikin bunting."

Felix menceritakan peran perempuan-perempuan di buku ini dengan begitu apik dan rapi. Saya menakar-nakar sendiri bagaimana memang seharusnya menjadi seorang perempuan pada saat itu, saat di mana tidak ada gembor-gembor perlawanan terhadap sistem patriarki,  sikap yang ditanamkan pada tokoh-tokoh perempuan seperti Laura, Maria, dan Silvy seolah menjadi tameng kemandirian perempuan.

Semisal salah satu kalimat yang menarasikan Maria sebagai mahasiswa yang menunjukan eksistensinya sebagai aktivis perempuan kaya akan nalar ktitik terhadap rezim.

"Maria dan kawan-kawannya berusaha melaporkan temuan itu ke sana ke mari. Setelah lama berjuang dan tak kunjung ada perkembangan, Maria mengakui bahwa kelompoknya terlalu kecil untuk berhadapan dengan pejabat-pejabat korup. Orang-orang itu telah korup sejak dalam pikirannya, sehingga satu pejabat korup hanya akan digantikan oleh kroninya yang juga korup, dipermudah oleh sistem yang juga korup, dan didukung oleh budaya tidak tahu malu yang menjijikkan. Mereka tanpa malu saling melindungi kebusukannya, meski baunya lebih bangar daripada mayat orang-orang miskin yang bergelimpangan.”

Atau lihat saja Laura, dengan siapa ia mampu berdiri selain dengan kakinya sendiri? Laura begitu memperjuangkan hidupnya untuk anaknya, meski setelah melahirkan, ia memilih mengakhiri hidupnya. Laura sadar, selama hidupnya, ia telah kehilangan haknya untuk memilih hidup dengan sebagaimana inginnya. Hanya dengan ini, ia merasa sebagai perempuan diberikan haknya memilih untuk mati setelah melahirkan.

Maria, membahas tentang Maria seolah mengingatkan saya akan kutipan Pram pada novel Bumi Manusianya, "Jangan sebut saya perempuan jika hidup hanya berkalang lelaki, tapi bukan berarti saya tak butuh lelaki untuk dicintai." Kisah Maria sebagai aktivis memang menjadi hal paling vital pada buku ini, jujur, saya malah banyak mengorek perlawanan mahasiswa pada masa orba melalui kalimat-kalimat perlawanan Maria, kadang juga melalui perdebatan Maria dengan Yosef.

Perdebatan Maria dan Yosef tidak laju meninggalkan kebencian, justru benih-benih cinta, kekaguman, atau entah yang telah tumbuh pada diri masing-masing. Namun, karena lain hal, Maria dan Yosef tidak bisa bersama meski mereka tau mereka ingin saling memiliki. 

Kehilangan Yosef bukan berarti kehilangan segalanya. Maria tetaplah Maria yang keras, ketus, dan penuh kekecewaan dengan rezim orba. Ia tidak kehilangan critical thinkingnya meski tidak ada lagi Yosef teman berdebatnya. Sampai Maria menikah degan lelaki yang dipilihnya, manuver perlawannya masih terawat apik, hingga ia kehilangan kendali ketika suatu waktu, insiden tabrak lari mengambil nyawa suami dan anaknya. Hal inilah yang kemudian membuat Maria turut mengakhiri hidupnya.

Ya, beberapa perempuan itu, yang terbelenggu pada kisah hidup  dan asmara yang tragis berakhir mati 'begitu saja' meninggalkan luka dan harapannya.

Buku Orang-orang Oetimu sebenarnya begitu kompleks menceritakan budaya dan gaya hidup Oetimu. Tidak terfokus pada pembahasan perempuan yang saya paparkan saja. Hanya, saya merasa tokoh perempuan yang ada di dalamnya memiliki magis tersendiri dengan membuat sudut pandang baru.

Buku Orang-Orang Oetimu dikemas dengan sederhana dan menarik. Saya rekomendasikan untuk membacanya, dan buatlah sudut pandang sendiri. Sebab, masing-masing tokohnya sangat luar biasa dinarasikan.

Terima kasih, Felix. Telah membuat buku sekeren ini!!!

0 Response to "[Review] Perempuan dan Orang-orang Oetimu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel