Perempuan dan Pasar
Keluarga Pedagang Pasar Yosomulyo Pelangi Goes to Talang Indah |
Terhitung tiga bulan sudah, sejak bulan Oktober lalu saya berkecimpung pada kehidupan yang tak jauh-jauh dari ibadah tijarah ini. Tak henti melantunkan dzikir-dzikir 'tawar-menawar' juga salam, senyum, sapa.
Bermula dari menjual telur gulung, lalu berinovasi dengan menambahkan isi sosis, cilok, lalu menambah jenis dagangan lagi seperti tahu gejrot. Hingga saat ini, tahu gejrot menjadi satu-satunya menu yang masih bertahan, mengalahkan eksistensi sosis telur gulung yang berjasa dalam melahirkan branding 'pedagang' pada diri saya.
Berbicara tentang dunianya pedagang; pasar, memang tak akan pernah ada habisnya. Namun, saya ingin sedikit berbagi cerita menjadi seorang perempuan yang hidup di lingkungan pasar. Perempuan yang menyandang gelar 'pedagang'. Perempuan yang menjadi sebenarnya perempuan (manusia) dengan segala kebutuhan dan keinginan dalam berperikehidupan.
Di pasar, saya merasa memiliki ruang tersendiri, atau barangkali saya malah telah menemukan ruang baru saya di sini, ruang di mana akan terlalu sia-sia jika tidak dijadikan sebagai proses belajar ibadah: ibadah ritual, ibadah sosial.
Apa yang saya dapatkan di pasar tentu bukan hanya keuntungan materil belaka. Di pasar, saya diajarkan membangun relasi yang kuat antar sesama pedagang juga pembeli. Jika bicara keuntungan yang saya peroleh dengan bermodalkan berjualan tahu gejrot saja, jelas tidak banyak. Namun, paling tidak, dari hal yang sedikit inilah saya diajarkan banyak hal. Bagaimana menjadi perempuan mandiri; mandiri dalam berpikir, mandiri dalam bertindak, tentu menjadi salah satunya.
Sederhananya saja, persoalan sarapan. Ketika sudah mulai buka pagi pukul 06.30 WIB, saya sudah standby, lalu datangnya pembeli satu-persatu membuat saya tidak bisa berpindah dari tempat berdagang. Urusan sarapan selalu saya nomor terakhirkan, padahal kalau-kalau persolan perut ini tidak diprioritaskan, ya akan jadi masalah besar juga.
Dari sini lah, terkadang tiba-tiba saya mendapat paket sarapan dari pedagang sebelah, besoknya pedagang sebelah yang berbeda lagi, begitu terus. Bayar? Ya sebagai sesama pedagang tentu saya tahu, makanan yang diperdagangkan mesti perlu dibayar. Tapi ini tidak, saya salah, tidak semua hal dapat dibeli dengan uang ternyata. Mereka selalu memiliki alasan menolak jika saya akan membayarnya.
Jika pasar tidak melahirkan kepekaan atas dirimu, berarti ada yang belum beres dengan caramu berkehidupan.
Ya, saya rasa untuk hidup di lingkungan pasar memang perlu belajar kepekaan, biso rumongso (bisa merasa), dan kerelaan sebagai bentuk pengorbanan paling tinggi. Kita bukan lagi memandang pedagang lain sebagai pesaing, kita memandang mereka sebagai manusia yang juga butuh penghidupan, kita memanusiakan manusia, kita menganggap bahwa merekalah sebenarnya teman menyambung nafas. Sesama pejalan 'pulang', jangan jadi batu sandungan.
Sejak saat itulah, saya juga mulai mendaratkan tahu gejrot saya ke beberapa pedagang sekitar, pedagang yang baru. Kami saling cicip menyicip makanan, saling hantar-menghantar. Dan bagian paling asik, jelas, ketika menghantar makanan lalu diajak ghibah, yasudah, terasahlah passion berghibah saya ini.
Informasi yang didapat ketika ghibah juga menjadi keuntungan non materil lain yang seringkali saya dapatkan sebenarnya. Informasi apa saja, beruntungnya, informasi penting tidak penting dapat tersampaikan dengan tidak begitu serius, mudah dimengerti. Apalagi persoalan rumah tangga, tiga bulan di pasar, saya merasa seperti sudah khatam lebih cepat dari perempuan seusia saya.
Pada dasarnya, pasar sudah menyediakan segala hal yang menyimpan banyak pelajarannya. Malah, apa yang saya dapat di pasar belum tentu bisa saya dapatkan di bangku kuliah. Pasar telah mengajarkan saya bahwa menjadi perempuan bisa dapat sekaligus bermanuver di kasur, sumur, dan tempat yang bisa membuat dapur dan isi kepala ngebul (beraktifitas).
Menjadi perempuan pedagang, tidak perlu pengakuan hebat bahwa perempuan bisa ini-itu, karena di pasar hanya ada manusia dan benda yang perjual-belikan, bukan lelaki dan perempuan. Menjadi perempuan yang perempuan di pasar, adalah yang saya tahu, bahwa tidak ada satupun pekerjaan yang dikerjakan tidak selesai, oleh tangan siapapun itu, lelaki maupun perempuan.
0 Response to "Perempuan dan Pasar"
Post a Comment