[Review] Habibie & Ainun 3 - Sosok Perempuan Bernama Ainun
same book but different pages. Sometimes destiny is about "same frequency" -the lesson after watched Habibi Ainun 3-
Saya selalu percaya bahwa setiap hari pasti ada hal-hal yang tak terduga, hadir sebagai kejutan-kejutan kecil. Tinggal mau bagaimana kita menikmatinya, ya, ambil sudut berbeda, kalau yang direncanakan tidak terealisasikan, kenapa tidak menikmati saja yang sudah.
Nonton Habibie dan Ainun 3 sebenarnya adalah hal di luar rencana. Tetapi siapa yang bisa jamin, awalnya kami mau nonton film liyan, film yang mengusung isu-isu body shaming yang kerap terjadi di lingkaran relasi perempuan, berharap sedikit tahu curahan 'ke-insecure-an' dari seorang perempuan, tetapi Habibie dan Ainun 3 menyuguhkan lebih dari apa yang kami kira awalnya akan penuh drama romantika. Humor dan tegang menjadi pelengkap rupanya.
Pada film kali ini, Ainun tidak ditemani oleh sosok Habibie. Bisa dibilang, film ini hanya memuat kisah Ainun selama ditinggal Habibie menempuh pendidikannya di Jerman. Sosok lelaki bernama Ahmad inilah yang kemudian mendampingi Ainun, muara segala curahan keinginan-keinginan besar Ainun terhadap Negara yang kala itu masih berjalan tertatih-tatih.
Cita-cita
Pernah turut membantu menenangkan pasien ibunya yang sedang melahirkan, perihal yang menciptakan derit-derit khayal hidup sebagai penolong, membuat Ainun berkeinginan menjadi seperti ibunya, bahkan lebih. Ibunya adalah seorang bidan di desa terpencil, tetapi Ainun, ia ingin menjadi seorang dokter. Hal inilah yang mendasari Ainun bersikukuh masuk Fakultas Kedokteran UI.
Memiliki cita-cita yang tinggi pada masa dimana budaya patriarki masih dirawat sedemikian kolot membuat Ainun menemui tantangannya tersendiri. Menjadi dokter perempuan selalu dipertanyakan sampai seberapa dalam kemampuannya menangani pasien. Perempuan, pada masa itu, dianggap tidak mampu, tidak logis, terlalu sensitifan untuk membantu seorang pasien.
Olok-olok semacam perempuan pantasnya di dapur kerap ditemui Ainun, bahkan oleh teman sealmamaternya sendiri. Jarang yang percaya bahwa seorang perempuan dapat berhasil menjadi dokter. Bahkan Professor praktik Ainun sendiri, ia percaya bahwa perempuan itu lemah, caranya mengajar dengan keras membuatnya merasa seolah sudah berlaku tidak adil kepada Ainun, sebab ia perempuan, Ainun tidak akan mampu menerima pelajaran dengan cara yang keras seperti yang dapati oleh calon-calon dokter lelaki.
Sampai dimana ketika Profesor Praktik itu sendiri sadar. Bahwa kelembutan juga sebagian dari penyembuhan. Orang tidak selalu harus dituntut dengan keras. Sikap yang ramah dan tenang, adalah hal lain yang tidak bisa diracik sebagai pil oleh orang-orang farmasi, hal lain yang belum tentu setiap dokter memilikinya. Hal lain yang dibutuhkan seseorang, baik yang sakit maupun yang sehat.
Perjalanan Ainun menempuh cita-cita tidak semudah itu ternyata, ada saat di mana Ainun benar-benar merasa gagal menjadi seorang calon dokter. Anak kecil yang mengalami kecelakaan tepat di dekatnya tidak mampu Ainun selamatkan.
Kematian anak itu sudah seperti hantu yang merasuk ke saraf-saraf kepala. Ainun merasa tidak terima akan kegagalannya. Pada scene ini perasaan saya benar-benar terlucuti. Ada dimana dialog seorang bapak dengan anaknya yang merasa gagal, menjadi moment yang terlalu manis dilewatkan, pesan-pesan dari seorang bapak tersampaikan dengan begitu harmoni.
"Gagal itu tidak papa, nduk. Justru kamu itu nggak gagal. Kamu sudah menyelamatkan, dan anak itu meninggal atau tidak, itu sudah urusan Tuhan."
"Kejadian itu adalah pelajaran kecil, supaya kedepan kamu bisa lebih hati-hati lagi, lebih legowo dengan kejadian yang di luar ekspektasimu. Jangan sekali gagal langsung menyerah, ya."
Cinta
Sebagaimana seorang remaja yang sedang ranum-ranumnya, Ainun tumbuh menjadi sosok perempuan yang ayu nan cerdas. Kecerdasannya bahkan mendatangkan banyak penggemar lelaki di fakultas lain. Namun, sosok Ahmad adalah yang sebenar-benarnya mampu membuat garis senyum pada bibir Ainun.
Akan tetapi, saya merasa bahwa pada bagian Ainun dan Ahmad bukan serta merta ada hanya dijadikan sebagai pemanis di film-film yang memang mengangkat genre romance pada umumnya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa konflik yang sedemikian kompleks tergambarkan.
Mereka berdua bukan lagi anak SMA yang sedang dibuai oleh asmara. Mereka adalah mahasiswa yang memiliki cita-cita yang besar bagi bangsanya. Setiap apa-apa yang mendasari percakapan mereka bukan lagi perihal makan apa dan di mana. Lebih dari sekadar aku sayang kamu, kamu sayang aku.
Percakapan hal-hal apa yang perlu disiapkan sekarang, rencana-rencana apa yang akan dilakukan kedepan adalah percakapan paling logis untuk dua sejoli yang telah sama-sama sudah pantas menyandang sikap dewasa menurut saya.
Akan tetapi, pertanyaan itu selalu ditampik oleh Ahmad. Saya sempat ragu, sosok Ahmad yang dideskripsikan sebagai seorang yang cerdas ini benarkah tidak memiliki ambisi yang besar ke depan? Ternyata saya salah. Ahmad memiliki impian itu, Persis sebesar impian Ainun. Bahkan lebih besar, lebih besar dari kekeraskepalaannya untuk bersama dengan Ainun.
"Kita adalah buku yang sama, tapi halaman yang berbeda"
Adalah kata-kata yang memecahkan tangis di antara keduanya. Tidak ada yang ingin dipaksa mengalah oleh masing-masing impiannya. Ahmad bermimpi besar dapat menjadi seorang yang hebat, tapi bukan di Indonesia. Sedang Ainun, ia terlalu mencintai Tanah Airnya.
Pada akhirnya, mereka bersama menyepakati untuk melanjutkan mimpinya, dan perpisahan itu tentu saja.
"Mereka itu memiliki impian yang sama besar, tapi mereka tidak satu frekuensi, mereka tidak bisa menjalaninya bersama. Maka, suatu hubungan itu harus satu frekuensi, satu visi, dan satu misi." B.J Habibie
0 Response to "[Review] Habibie & Ainun 3 - Sosok Perempuan Bernama Ainun"
Post a Comment