Aku dan Kamu #1


"Kita nanti bakal musuhan nggak ya, Puj. Kalau musuhan gara-gara apa ya?"
Pertanyaan ini muncul begitu saja dari bibir manis teman saya ketika kami tengah menapaki jalan Ki Hajar Dewantara menuju kampus. Saya masih  ingat betul, bahkan hapal ketuk irama pertanyaan yang melekat persis di daun telinga saya yang terbalut jilbab.

Saya percaya pertanyaan itu lahir bukan tanpa sebab, barangkali masa lalu pertemanannya dengan seorang yang membuatnya menanyakan hal serupa. Pertanyaan itu memang terdengar konyol, bahkan saat itu saya biarkan tak terjawab dan lalu bersama kendaraan lain yang membalap kami. Namun, jika diingat-ingat kembali, saya seperti merasa, kedepan, bukan tidak mungkin kami tidak akan menemui masalah, lalu akan sebijak apa kami nanti menyikapi?

Sudah sekitar satu tahun yang lalu pertanyaan itu disampaikan. Dan rasanya saya ingin menjawab,

"bukannya setiap hari kita itu musuhan, ya?"

Ya bagaimana tidak, jangan dianggap karena sering kemana-mana bersama, lalu isi kepala kami ini juga seragam, meski tidak sepenuhnya, ya tetap ada saja yang menjadikan kami berselisih paham. Misal dalam hal genre musik, genre buku bacaan, genre tulisan, bahkan mengakar sampai partai dan ideologi.

Perihal musik, saya tidak banyak berselisih sebenarnya, karena memang saya tidak terlalu hobi. Namun, kadang mulut saya ini tidak bisa tidak untuk melakukan tindak bullying terhadapnya,

"bucin teroooossss, senenganmu kok bucin-bucin to, boy." 

Kedua, perihal buku bacaan. Kalau kalian menilai bahwa buku yang kami baca itu sama, maka kalian telah berperspektif nyasar. Buku yang dia baca, hampir tidak ada yang pernah saya baca. Kecuali ada buku yang kami sepakati untuk membacanya bersama, atau kalau dia terhasut oleh buku bacaan saya. Maka, hanya segelintir buku yang  sama yang pernah kami baca.

Ririn, iya, namanya ririn. Dia suka membaca dan mengoleksi buku-buku bergenre romanticism, maka tidak heran jika bahasanya selalu sarat makna yang mendalam dan ternarasikan dengan diksi-diksi surga. Kebucinannya sungguh terfasilitasi oleh selera musik dan bacaanya.

Sedangkan saya adalah pembaca novel yang vulgar, isinya tidak ada yang tidak mesumisme. Meski tidak semua begitu, tetapi bacaan vulgar begini sudah serupa momok pada kehidupan persahabatan kami. Pernah, saya merasa bangga ketika berhasil membujuknya dengan prima untuk menyelesaikan novel karya Felix K Nesi secara mandiri. Biarlah sekali-kali dia membuat film porno di kepalanya sendiri. Setelah itu, esoknya saya harus menata dengan strategis di mana seharusnya saya meletakkan kuping dengan tepat.

Saya harus menjadi pendengar yang ramah dan sabar ketika dia sudah berteriak sembari tertawa  histeris dan menceritakan setiap detail kalimat mesum yang ia dapatkan, ia akan terus mengulangnya, bahkan menghapalkan halaman bukunya untuk kemudian diperlihatkan kepada saya. Dan pada hari-hari berikutnya, kalimat itu akan menjadi serupa mantra di guyonan kami, bahkan di luar kami berdua, siapapun akan tertular oleh mantra mesum yang kami buat-buat sendiri.

Bersambung...

0 Response to "Aku dan Kamu #1"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel