Nikah Nol Rupiah: Sebuah Keinginan Baru Kami
Sebagai seorang yang sudah menyandang gelar 'sahabat sebangku' sejak masuk SLTA sampai lulus, tentu saya dan Sindy memiliki cerita cinta dan cita-cita yang penuh keluguan juga menggelikan.
Saya masih ingat betul kecemburuannya ketika saya banyak bermain dengan teman-teman lain selain dirinya, ia mengirimi satu kalimat manis yang ditulis di kertas yang ia lipat lalu disodorkan ke saya. Dari situlah persahabatan kami dimulai. Sungguh, sahabat paling romantis adalah kamu.
Seiring waktu berjalan, banyak kisah-kisah yang kerap menjadi cerita. Beberapa cita-cita menjadi gerbang pertama kami mendiskusikan persiapan menjadi dewasa, atau keinginan-keinginan kecil yang kami yakini menjadi langkah menuju kehidupan yang hakiki.
"Aku nanti kalau nikah umur 25 lah mbak Sin." Ujar saya membuka percakapan sembari menunggu jam masuk sekolah.
"Muda banget sih, Jay. Aku lho pengennya umur 27. Nanti habis kuliah aku mau jadi PNS, terus kerja di kelurahan terdekat, biar nggak jauh-jauh sama mamak bapak." Jawabnya dengan manggut-manggut mendengarkan lagu Barat yang tengah ia gandrungi.
Percakapan yang masih melekat di dalam isi kepala saya itu ternyata menjadi salah satu sebab tawa pecah dan tak berujung ketika kemarin saya menginap di kosnya dan kami banyak bernostalgia masa-masa SMK.
"Mbak Sin. Masih inget nggak kamu mau nikah di umur berapa terus aku umur berapa?" Ungkapku sembari berharap cemas ia lupa, lalu saya akan menghakiminya dengan bullyan purna.
"Masih yoo. Kamu umur 25, aku 27. Hahaha." Jawabnya yang mengundang tawa di antara kami.
Meskipun saya berkeinginan menikah lebih muda daripada dia, akan tetapi saya belum pernah sedikitpun memikirkan konsep pernikahan impian seperti apa yang saya ingini. Semenjak berpulangnya bapak, barulah saya berpikir untuk tidak merayakan pernikahan, sebab bagi saya, untuk apa sebuah pesta yang digelar sedemikian meriah tanpa adanya sosok bapak.
Berbeda dengan Sindy. Dia ingin merayakan pernikahan dengan menggelar musik akustik dan hanya mempersembahkan lagu-lagu yang dia sukai. Dia ingin memakai kebaya kuning, warna yang dia imani akan sangat cocok sekali dengan warna kulitnya yang putih.
Namun, kemarin dunia berubah, atau dunia yang merubah kami menjadi dua perempuan yang senada perihal pesta pernikahan: sama-sama tidak ingin merayakan pernikahan, bahkan memilih menikah nol rupiah di KUA, memakai kemeja putih, make up yang tidak berlebihan, tidak dirumitkan oleh adat dan administrasi, tetapi tetap sakral dan yang pasti sah.
Percakapan yang kali ini tentu percakapan dua perempuan yang bukan lagi duduk di bangku SMK dengan segala khayalan-khayalan surgawinya, kami sudah menjadi dua perempuan yang seolah telah disuguhkan oleh kenyataan-kenyataan yang getir. Entah, usaha menjadi dewasa tidak semenyenangkan itu ternyata.
Kami juga sempat membicarakan bagaimana kedua orang tua kami nanti agar dapat menerima alasan-alasan yang dianggap melanggar norma hidup bertetangga. Terlebih, di desa kami sana, pengantin perempuan harus minimal pasang dekorasi, karena pengantin perempuan akan menerima mempelai lelaki beserta keluarga besarnya, pihak perempuan harus menjamu dengan sedemikan sempurna, jangan ada kekurangan suatu apapun.
Ya, kami sangat mengerti hal itu. Akan tetapi, meski atas nama norma, kami memutuskan untuk tetap pada keinginan baru kami ini, keinginan yang sudah dipikirkan dengan matang dan penuh pertimbangan.
Kami sudah sama-sama membicarakan ini ke orang tua kami masing-masing. Jauh sebelum kami bertemu kembali dan kemudian memiliki alasan menikah dengan resepsi sederhana yang sama tersebut.
Dan belakangan saya tahu, bahwa Sindy dan orangtuanya sudah saling mengiyakan sebagai kesepakatan yang sebelumnya melahirkan banyak pertentangan dan perdebatan, tidak mudah memang meyakinkan orang tua, tetapi Sindy sudah mencoba melampauinya. Tinggal pasangannya nanti yang perlu ia ajak bersepakat lebih dalam. Katanya.
Dan belakangan saya tahu, bahwa Sindy dan orangtuanya sudah saling mengiyakan sebagai kesepakatan yang sebelumnya melahirkan banyak pertentangan dan perdebatan, tidak mudah memang meyakinkan orang tua, tetapi Sindy sudah mencoba melampauinya. Tinggal pasangannya nanti yang perlu ia ajak bersepakat lebih dalam. Katanya.
Sedang saya sendiri, saya sudah membicarakan ini kepada ibu saya, tentu saja sampai sekarang jawabannya masih menggantung antara iya atau tidak. Terakhir kali saya membicarakan perihal menikah, adalah setelah wafatnya bapak. Sampai ditulisnya tulisan ini, saya belum lagi mencoba untuk berbicara dan bersepakat. Tetapi tidak akan lama, saya akan tetap membicarakannya. Dan dengan seseorang yang menjadi pasangan saya sekarang, entah, masih jauh sekali rasanya membicarakan perihal resepsi.
Ya, pada akhirnya momentum ngobrol kami mulai hening dan menghadirkan banyak renungan. Semakin merasa dewasa, semakin kami ingin menyederhanakan hal-hal yang sengaja dirumitkan oleh orang-orang dewasa terdahulu. Namun, tidak semudah menenangkan bayi menangis rupanya, justeru yang kami anggap paling sederhana, malah dianggap rumit dan merepotkan.
0 Response to "Nikah Nol Rupiah: Sebuah Keinginan Baru Kami"
Post a Comment