Ngaji Keadilan Gender Islam
Semalam, saya tidak menyangka dan tentu bahagia, pada akhirnya saya bisa berdiskusi secara langsung dengan ibu Dr. Nur Rofiah. Karena memang, sebelumnya kami hanya dapat berinteraksi di salah satu grup WhatsApp KGI (Keadilan Gender Islam), dan yang membuat geregetan ngaji di WAG adalah ketika banyak yang ingin ditanyakan, tetapi waktu diskusi sangat terbatas. Ya meski saat kopdar pun juga terbatas. Akan tetapi, paling tidak, dengan melihat beliau secara langsung menyampaikan materi dengan semangat yang menggebu-gebu, saya bisa turut merasakan. Begitu kan, bu? Hehe.
Ada sekitar 3 jam beliau memaparkan materi dasar terkait Keadilan Gender Islam, tiga jam yang seolah terasa sebentar, atau barangkali ya memang termasuk durasi dengan kategori sebentar untuk dibuat ngaji menyoal keadilan gender ini, mengingat betapa kompleksnya pemahaman 'gender' pada masyarakat yang perlu diulik sampai akar.
Selama tiga jam diskusi berjalan, beberapa hal yang disampaikan, berhasil membuat peserta tertawa tertahan sampai terbahak-bahak, berhasil membuat peserta manggut-manggut dengan statement yang tidak biasa. Berhasil membuat ngilu sekaligus mengutuk sistem-sistem patriarkial yang telah lama dipelihara apik di masyarakat kita hari ini.
"Perempuan, menjadi seorang perempuan aja itu udah salah. Hanya karena dia perempuan lho, itu. Nggak ngapa-ngapain, ya tetep disalahin. Misal, yang korupsi suami, yang salah ya istrinya yang katanya hobi belanja. Lho, hayo gimana?"
Sontak, alam bawah sadar saya saat mendengar beliau mengatakan hal tersebut, melahirkan degup yang gelisah. Seolah pernyataan "...menjadi seorang perempuan aja itu udah salah" seperti berbanding terbalik dengan pernyataan 'perempuan selalu benar' yang selama ini akrab saya dengar, parahnya baru saya sadari kalau kalimat itu ternyata malah terasa seperti mempertegas bahwa perempuan itu memang bukan bagian dari manusia, perempuan bukan manusia yang bisa kadang salah, juga kadang benar.
Jujur saja, sejauh ini saya sering mendengar lelucon atau ya pernyataan klasik yang dianggap sebagai penggambaran konkret seorang perempuan itu, sungguh, menjadi biasa saja dan tidak masalah, toh hanya lelucon, pikir saya.
Lagi pula, pernyataan tersebut mudah sekali terdengar pada sebuah film, misal, percakapan kehidupan sehari-hari, atau meme-meme yang tersebar di media sosial. Sehingga, saya seperti membenarkan realitas yang dipakai oleh mayoritas yang padahal bisa saja itu menjadi tidak benar karena sebab lain, sampai tak jarang pula saya sendiri malah menjadi pelaku yang menjadikan pernyataan ini sebagai senjata pamungkas untuk menundukkan lawan jenis saya ketika kami berdebat;
"Perempuan selalu benar"
Tidak sedikit memang, sependek yang saya tahu, yang melontarkan pernyataan tersebut adalah lelaki, baik disampaikan dengan sarkas, nyinyir, atau embel-embel keromatisan sebagai pihak kuat yang rela tunduk di depan perempuan, mengalah untuk menang. Hal semacam ini sering sekali saya dapati ketika diskusi pada kuliah yang biasanya melahirkan perdebatan-perdebatan sepele dan berakhir dengan 'udah, iyain aja biar cepet, capek ngomong sama perempuan, ngeyelan' oleh sekelompok laki-laki.
Namun, saya juga tidak menutup mata, bahwa dari kalangan perempuan pun ada yang mengaminkannya sendiri dengan kemayu dan bangga. Berasumsi bahwa pernyataan tersebut adalah keuntungan atau privilege, mengiyakannya sebagai kodrat, menggunakannya sebagai senjata untuk membuat lelaki serasa mati kutu, bahkan bisa menganggapnya sebagai bentuk klarifikasi bahwa perempuan itu lemah lembut dan perlu diperlakuan spesial.
Sebenarnya, pernyataan seperti ini memang benar adanya, kah?
Saya ingat, Bu Rofi, pada kesempatannya, menyampaikan materi Keadilan Gender Islam ini diawali dengan banyak menyinggung fenomena-fenomena biologis yang terjadi pada lelaki dan perempuan, memang. Salah satu yang terkait dengan perempuan adalah tubuh perempuan bisa mengalami yang namanya Pre-Menstrual Syndrome. Dimana, dalam keadaan tersebut, beliau menjelaskan bahwasannya seorang perempuan bisa merasa bahagia juga bisa merasa sakit.
Sebagai perempuan yang juga mengalami hal serupa, ya saya setuju saja jika ketika mengalami menstruasi, emosional (tidak semua) perempuan bisa kurang terkondisikan. Akan tetapi, apakah karena hal yang dianggap menye-menye tersebut, lantas perempuan bisa dikatakan tidak logis dibandingkan dengan laki-laki? Belum lagi anggapan perempuan memiliki 9 nafsu dan 1 akal, seorang yang hanya senang diperhatikan dan disayang saja, lalu semua perempuan adalah makhluk tak logis yang harus selalu dibuat merasa benar hanya agar dia merasa dipuaskan?
Pertanyaan saya, sifat-sifat seperti emosional, senang dimanjakan, diperhatikan, apakah benar itu semua termasuk sifat spesifik perempuan sebagai satu gender tersendiri, atau sifat yang bisa dimiliki manusia mana saja?
Seperti yang telah saya jelaskan di atas. Pernyataan 'perempuan selalu benar' ini memang kedengarannya receh, bahasa angin yang tidak berbahaya. Namun, bisakah kita perhatikan, hanya karena satu macam stigma, seorang lelaki yang ketika menghadapi perempuan lalu ia merasa kehabisan argumen logis, dapat langsung memainkan kartu truf: bicara dengan perempuan pada dasarnya hanya menghabiskan waktu dan tenaga, yang dibesarkan hanya kebawelannya yang tanpa ujung, tidak logis. Iyakan saja biar cepat selesai. Lihatlah bagaimana pembenaran klasik khas patriarki ini seolah meremehkan perempuan.
Bayangkan jika semakin banyak orang yang memercayai generalisasi atas sifat-sifat perempuan. Padahal, tetangga saya, seorang bidan, perempuan, ia sanggup mengambil keputusan di saat-saat kritis saat menolong persalinan saudara saya yang bermasalah ketika sedang tidak ada dokter yang dapat dimintai saran.
Juga, ingatkah kita kepada RA Lasminingrat, seorang perempuan intelektual di Jawa Barat, pernah diasingkan oleh masyarakatnya sendiri karena perjuangannya menyoal hak-hak pendidikan kaum perempuan pribumi, di tengah keterbatasannya itu Lasminingrat berani melawan sistem ketidakadilan dengan pemikiran dan tindakan yang jauh lebih progresif dari sekian banyak kaum lelaki ningrat di tatar sunda?
Jadi, masihkah kita rela jika kapasitas otak dan kemampuan kita sebagai perempuan diremehkan hanya karena lelucon sehari-hari yang tidak krusial untuk hidup siapa pun? Bisakah kita tetap rela jika dianggap makhluk tak logis hanya karena kita mengalami menstruasi dan perubahan hormonal sebulan sekali?
Saya, sih, tidak.
Tentu, saya bisa salah, atau emosional, atau jadi cranky karena tidak enak badan saat menstruasi, atau gemar bermanja-manja pada kekasih saya. Tapi itu karena saya manusia, bukan karena saya perempuan.
Oh iya, terima kasih banyak atas ilmunya, Bu Rofi. InsyaAllah sangat bermanfaat. Semoga ada kesempatan dimana kita dapat berdiskusi face to face lagi. Sehat selalu njih, bu. 😊
Model-model mba wahyu puji ini cocok emang kalo dikasih peran lebih di kursi besar musyawarah maslahat. Tapi kalo yg 'mohon maaf', pemikirannya terbatas, perannya 'barangkali' di kursi yg lingkup nya lebih kecil, gitu kali ya?
ReplyDeleteWahh, berlebihan ini. Haha. Begini, pada dasarnya, semua manusia itu kan harus berperan. Entah dalam lingkup yang kecil atau besar. Persoalannya, sekarang, perempuan itu diberikan akses tidak untuk berperan? Sedangkan untuk bersuara saja kadang masih tidak didengarkan. :)
Delete