Merindukan Keny(aman)an Kampus
Tahun 2019 memang akan segera berakhir, tapi tidak dengan harapan saya untuk bisa mendesak kampus, setidaknya melalui tulisan ini, agar pada saat pertama kali menggelar Pengenalan Budaya dan Akademik Kampus (PBAK) di tahun 2020 dan seterusnya, kampus berani menyampaikan sesi yang selama ini dianggap tabu, yakni materi seputar pelecehan seksual seperti: mengenali bentuk-bentuk pelecehan, bagaimana menghadapinya, melawannya, sampai melaporkannya.
Bukan tanpa alasan, saya hanya ingin kampus serius dalam menyikapi kasus kekerasan dan pelecehan seksual kepada para mahasiswanya. Pelecehan seksual di kampus itu bukan barang baru dan tidak sedikit jumlahnya. Pelakunya bisa siapa saja. Alih-alih seorang mahasiswa yang bosan dengan masturbasi, dosen yang sudah menghabiskan banyak gaya kawin pun bisa jadi pelaku.
Pernah di satu kesempatan, sebagai mahasiswa tingkat akhir yang menekuni penyelesaian studi, saya banyak menghabiskan waktu di kampus, seperti urusan bimbingan, validasi, dan segala ketetekbengekannya.
Bersyukurnya saya tidak pernah sendiri, banyak teman senasib cum seperjuangan melawan stigma negatif sebagai kaum siap rebahan menolak bimbingan. Tentu, kami selalu memiliki cara mengisi kelengangan waktu menunggu, seperti diskusi kadang, tidak sering, sebagian besar ya bisik-bisik harga tas ayam kampus, adik tingkat yang kemayu, atau isu terbaru seputar drama 'panas' ruang dosen.
Berawal dari pengakuan seorang mahasiswi pada sebuah kampus di Metro, cium tangan bukan lagi menjadi satu-satunya modus untuk kitik-kitik dan elus tangan, lebih dari itu, kali ini pelaku sudah secara terbuka, di depan mahasiswanya, ia merogoh penis untuk memuaskan libidonya.
Pengakuan ini disampaikan ketika korban telah rampung dalam skripsinya. Selama ini, korban mampu menyembunyikan pelecehan yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya. Miris, memang. Ketimpangan kekuasaan yang berada di ranah akademik antara dosen dengan mahasiswa selalu melahirkan pelbagai anggapan bahwa dosen merupakan sosok paling benar dengan kebaikannya yang telah memberikan ilmu, yang berpengaruh besar terhadap nilai, serta penentu cepat lambat meraih kelulusan, menjadikannya sebagai alasan utama mengapa mahasiswa cenderung diam dan tidak berani menindak-lanjuti kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
Saya pikir, seharusnya tidak ada alasan bagi korban pelecehan seksual merasa takut untuk sekadar menolak dan melawan pelaku, apalagi dalam menyampaikan pengalaman pelecehan yang pernah dialaminya, terlebih kepada pihak kampus dan teman-teman mahasiswa. Karena bukan tidak mungkin dengan menyampaikan pengalaman pelecehan ini, selain akan mendapat perlindungan dan tindak lanjut dari kampus , korban juga dapat membantu meningkatkan rasa kewaspadaan bagi mahasiswa lain yang pasti akan berhadapan dengan pelaku.
Tidak mudah, memang. Apalagi dalam kasus pelecehan seksual yang acapkali mendapat stigma buruk malah si korban. Hal ini tentu semakin menekan korban dan memberi kebebasan predator seksual dalam mencari mangsa di lingkungan kampus. Belum lagi jika memang kampus malah menutup telinga dan nyaman mendelik dibalik teori-teori.
Sebenarnya, kasus serupa tidak hanya dialami oleh segelintir mahasiswa, banyak. Belum lama ini saya juga mendengar ada mahasiswa yang menemui ketua jurusannya untuk mengadukan pelecehan yang telah ia alami. Pasalnya, mahasiswa tersebut selalu diajak karaoke, dan jika tidak berkenan, dosen pembimbingnya akan mengancam tidak mau mengadakan bimbingan skripsi.
Sedangkan di lain waktu, sering juga dosen tersebut mengirim video-video mesum melalui aplikasi WhatsApp untuk setelahnya mahasiswa ini dimintai pendapat. Saya khawatir, jika ketika bimbingan secara langsung nanti, siapa yang bisa jamin jika kemudian mahasiswanya tidak dimintai untuk ngangkang.
Mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual ini tidak sedikit, pun tidak banyak juga yang berani menyuarakan ketidaknyamannya, dan parahnya, lebih banyak lagi yang tidak tahu jika mereka sedang dalam keadaan dilecehkan. Modus minta diantar makanan menjelang maghrib ke ruang dosen yang dianggap sebagai bentuk kasih sayang seorang bapak dan anak adalah hal yang sangat tidak masuk akal, sedangkal pengetahuan saya. Apalagi, mahasiswa ayu ini dipaksa mengantarkan seorang diri. Cih!
Namun, jujur saya respect kepada mahasiswa yang berani membuka kebungkamannya perihal kondisi yang membuat sesak nafas ini, yang padahal ia tahu, bagaimana sebenarnya kampus itu sifatnya protektif, tapi pengecut, sungguh, untuk mengungkap kasus seperti pelecahan kepada mahasiswanya.
Saya berharap, ke depan tidak ada lagi korban yang takut mengadukan pelecehan seksual yang ia alami, tidak takut untuk menolak dan melawan, tidak takut merekam kejadian yang dilihatnya sebagai bentuk pelecehan, atau minimal, tidak ada lagi lah mahasiswa yang tidak tahu bahwa ia sedang mengalami tindak pelecehan.
Saya sedang bukan hanya ingin membicarakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswanya saja sebenarnya, karena tidak menutup kemungkinan pelecehan seksual juga dapat dilakukan oleh sesama mahasiswa, ya meskipun, sependek yang saya tahu, pelecehan lebih sering dilakukan dosen kepada mahasiswa. Maka kiranya penting sekali, paling tidak menurut saya--, mengenalkan bentuk-bentuk pelecehan seksual dan cara melawannya kepada mahasiswa ini sejak dini. Ya itupun jika kampus ingin serius.
Hal ini bisa disampaikan ketika PBAK atau pengenalan kode etik. Bila perlu adakan buku saku menyoal pelecehan seksual atau turut menyertakannya pada buku panduan kode etik daripada isinya hanya melulu menyoal pakaian, sebab, saya tekankan, bahwa kasus pelecehan tidak pernah mengenal bentuk pakaian yang korban kenakan.
Baiklah, melalui tulisan ini saya begitu menanamkan harapan bagaimana sentilan kasus-kasus pelecehan yang dialami mahasiswa dapat menyadarkan pihak kampus, --berlaku untuk semua kampus-- bahwa sebenarnya kampus sedang tidak baik-baik saja, karena saya curiga, jangan-jangan selama ini kampus memang benar-benar tuli perihal pelecahan seksual yang terjadi. Padahal, ada banyak kasus pelecehan seksual yang tidak diketahui untuk kemudian tidak hanya sekadar dicari tahu. Tetapi juga diselesaikan dan memikirkan mitigasi apa yang perlu dilakukan ke depan.
Karena apakah kemudian sebuah keny(aman)an di lingkungan kampus yang bersih dari pelecehan seksual tidak bisa dirasakan dan hanya bisa cukup dirindui saja?!
Saya cemas jika benar jawabannya adalah 'iya'.
0 Response to "Merindukan Keny(aman)an Kampus"
Post a Comment