Candi Cangkuang: Merawat Cagar Budaya Indonesia, Merawat Identitas Bangsa


Perihal kepunahan, betapa Candi Cangkuang sudah yang sebenar-benarnya punah. Ia tak lagi dikenal sebagai situs peninggalan budaya luhur, melainkan sebuah tempat di sebrang pulau yang dipenuhi perihal asing yang entah.”
Siapa yang tidak tahu akan satu-satunya candi yang berada di tatar Sunda. Candi yang konon menjadi salah satu ikon keberagaman di Indonesia, seperti agama, suku, dan budaya. Tempatnya yang berada di sebrang danau kecil dan bersebelahan dengan tujuh bangunan rumah adat Kampung Pulo membuat Candi ini memiliki nilai estetisnya sendiri.

Dokumentasi pribadi

Akan tetapi, ketika berhasil menapaki tanah Kampung Pulo, tempat dimana Candi
 Cangkuang berdiri, saya masih tertegun dengan pemandangan yang sama sekali mematahkan ekspektasi saya sebagai situs sejarah yang kental akan budaya pada masa silam. Aneh sekali rasanya ketika melihat banyaknya payung dan bola warna-warni serta replika bunga sakura di sana, seolah berhasil membuat siapapun yang berkunjung merasa sedang berwisata ke luar Indonesia. Apakah jangan-jangan memang itu tujuannya? Jika iya, lalu kebudayaan apa yang hendak dibangun pada Candi Cangkuang ini sebenarnya?

Memang, belakang kita ketahui bahwa suatu wilayah yang dapat mereplikasi wisata di luar negeri, selalu menjadi sumber wisata yang paling banyak dicari khalayak. Kemiripan tempat tersebut dengan yang aslinya dianggap memiliki kemewahan tersendiri. Hingga beberapa tahun belakangan, bermunculan wisata-wisata yang memakai budaya khas negara lain. Yang tentunya bukan hanya budaya, akan tetapi juga identitas dari negara tersebut yang kemudian diboyong ke tempat-tempat yang justeru menurut saya tidak masuk akal untuk dilabeli dengan wisata lokal rasa luar namun malah ramai diperkenalkan ke masyarakat luas.


Merawat Cagar Budaya

Candi Cangkuang, situs bangunan bersejarah yang menerima SK Menteri No 139/M/1998 menjadi cagar budaya ini menjadi salah satu tempat dimana bunga sakura dalam bentuk plastik dan payung warna-warni ini digalakkan. Bukan tidak benar, tetapi sungguh tidak masuk akal. Alih-alih merawat cagar budaya malah seolah hanya ingin memenuhi syahwat berfoto para wisatawan. Saya rasa tidak masalah dan boleh saja pemerintah pun masyarakat Garut turut peduli dan mengenalkan Candi Cangkuang ke masyarakat luas dengan cara seperti itu, akan tetapi bukankah masih banyak jalan lain daripada sekadar membuat replika negara Jepang di Kampung Pulo tempat Candi Cangkuang itu berdiri kokoh?


Konon, nama Candi cangkuang diambil dari pohon cangkuang yang tumbuh dengan subur disana, akan tetapi ketika saya mengunjungi, saya hanya menemukan beberapa titik pohon cangkuang itu tumbuh, tidak banyak. Sebenarnya, dalam hal merawat Candi Cangkuang sebagai cagar budaya bisa dimulai dari memaksimalkan apa yang menjadi ciri khas dari Candi cangkuang tersebut, yakni pohon Cangkuang itu sendiri. Pohon cangkuang memang cocok tumbuh disana selain kondisi tanahnya juga mendukung, sehingga tidak terlalu sulit untuk mengembangbiakkan. Pohon-pohon inilah yang kemudian nanti dapat dijadikan perihal yang menjadikan Candi Cangkuang sebagai cagar budaya yang mudah diingat sebagai bagaian lain dari sebab tersematnya nama Cangkuang oleh Candi tersebut.
Dokumentasi pribadi

“Pada akhirnya, merawat ingatan sejarah melalui cagar budaya juga tak serta merta mudah, namun tentunya hal tersebut bukan berarti tidak bisa diusahakan.“
Menurut hemat saya, pada era saat ini, merawat cagar budaya bukan lagi persoalan membersihkan, memeperbaiki yang rusak, pengawetan, atau bahkan sekadar dikunjungi oleh banyak orang, lebih dari itu. Merawat cagar budaya juga seharusnya sebuah upaya melestarikan kembali situs-situs yang bernilai sejarah. Menanamkan poin penting dari peninggalan leluhur sebagai keberagaman identitas budaya bangsa kepada generasi muda dan masyarakat umum. Yang tentu, tidak hanya berhenti pada menjadikannya wisata sejarah yang instgramable, akan tetapi juga menjadikan nilai-nilai sejarah yang terkandung menarik untuk diteliti dan dikaji, untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat agar cagar budaya tidak hanya diingat melalui penampakan, namun juga terawat pada ingatan-ingatan.

Merawat Identitas Bangsa

Sesungguhnya, apa yang terjadi di balik label merawat dengan cara menjadikannya tempat wisata yang instagramable dengan dalih agar dapat menarik wisatawan dengan mudah untuk kemudian lebih banyak diketahui oleh khalayak, sedangkan, malah hal tersebutlah yang sebenar-benarnya andil menghilangkan identitas Candi Cangkuang itu sendiri. Barangkali memang kita belum sadar, pengadaan semacam itu adalah penaklukan identitas bangsa, Negara lain mampu menarasikan dengan apik bahwa kebudayaan yang ia bangun adalah yang paling baik, sehingga bukan tidak mungkin kita sebagai indonesia turut terpengaruh hingga melupakan identitas bangsa dengan segala keberagaman cagar budayanya, ini merupakan penjajahan bentuk lain yang lebih efektif dan tak kasat mata. Cukup hanya dengan menaklukan budaya serta cara berfikirnya.


Bayangkan saja, bagaimana ketika banyak wisatawan berbondong-bondong mengunjungi Candi Cangkuang, namun mengambil foto dengan berlatarkan bunga-bunga sakura beserta payung warna-warni yang melengkapi keriuhannya. Apakah hal itu yang kemudian menjadikan Candi Cangkuang spesial? Saya rasa tidak. Payung-payung dan segala pernak-perniknya dapat direplikasi dimanapun tempatnya, wisatawan tidak perlu jauh-jauh ke Candi Cangkuang untuk mendapatkan pemandangan serupa.

Hal itulah yang kemudian seharusnya menjadi pertimbangan. Menjadi satu-satunya candi yang berada di Jawa Barat adalah sebuah kemewahan, tanpa diberikan embel-embel bunga dan payung pun Candi Cangkuang telah memiliki nilai estetis dan uniknya sendiri. Kesakralannya sebagai peninggalan budaya luhur pada saat itu dapat juga dirasakan dengan khidmat. Membuat pengunjung benar-benar merasakan suasana magis pada zaman dahulu. Nilai-nilai seperti inilah yang tidak dapat direplikasi, seseorang hanya akan menemukan nilainya jika ia benar-benar mengunjungi. Maka, sangat perlu sekali menjaga kenaturalan Candi Cangkuang tersebut.

Sebenarnya, ada banyak cara bagaimana untuk kemudian harus merawat cagar budaya sekaligus merawat identitasnya, salah satunya ialah dengan merancang konsep wisata sejarah Candi Cangkuang dengan gaya interpretative tour dan storytelling dimana para tour guide selain membawa ke Candi Cangkuang juga menyelipkan cerita sejarah beserta filosofinya, memaparkan cerita-cerita menarik dibalik semua relief-reliefnya dengan kajian historis yang ketat dan saintifik.

   Selain itu melibatkan seluruh elemen masyarakat juga perlu, membuat cagar budaya menjadi tidak ekslusif dengan mengadakan beberapa festival budaya di sana. Festival dibuat tidak sesering mungkin akan tetapi selalu dirindukan oleh wisatawan yang hadir. Seluruh masyarakat sekitar tentunya dilibatkan dalam meramaikan seperti membuat lapak jajanan tradisional kampung sekitar. Sehingga identitas cagar budaya tersebut benar-benar dihidupkan, lalu masyarakat akan begitu menyadari bahwa yang sebnar-benarnya indonesia adalah keberagamannya yang unik, yang tidak akan ditemukan dimanapun di negara lain di luar sana. 

0 Response to "Candi Cangkuang: Merawat Cagar Budaya Indonesia, Merawat Identitas Bangsa"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel