Larut dalam Tanya, Luput dari Do'a #darikacamatapuji



Sebagai perempuan yang hidup hampir 22 tahun, saya merasa harus lebih beri antisipasi jika sewaktu-waktu akan dihujani dengan pertanyaan 'kapan'. Bisa apa saja, kapan wisuda, kapan nikah, kapan isi, dan kapan apapun selain kapan berpulang (mungkin).

Meskipun sebenarnya, sejauh ini saya jarang sekali bahkan nyaris tidak pernah mendapati pertanyaan tersebut. Alih-alih nimbrung ke tetangga maupun berkunjung ke rumah keluarga besar agar mendapat pertanyaan serupa dan merasakan sendiri sensasinya, ternyata tidak, prediksi saya melesat jauh, jawaban yang telah disiapkan tak pernah benar-benar keluar dari bibir saya. Sial, sia-sia.

Beda halnya dengan beberapa orang yang sering saya temui, teman-teman saya. Belum lama ini teman saya banyak menceritakan perihal bagaimana sesaat ia pulang kampung ia harus bersiap-siap ditodong pertanyaan 'mana calonnya?' atau yang paling tidak biasa, tetangga sudah menakar-nakar sendiri kapan ia menikah.

'Oh. Paling habis lebaran, ya. Kan bulan sekian sudah diwisuda'

Ngeri, memang. Namun disisi lain, saya juga mendapati keluhan serupa, bedanya karena teman saya yang satu ini sudah menikah, maka pertanyaan yang ia kantongi adalah;

'Sudah sekian bulan nikah, loh. Kapan isi?'

Sebenarnya saya juga tidak mengerti dengan kelatahan yang dipelihara sedemikian apik ini, yang bukan tidak mungkin pertanyaan tersebut hanyalah sebuah bentuk keisengan, jangan-jangan penanya tidak benar-benar ingin tahu apapun jawaban yang mereka dapat, toh ketika mereka mendengar jawabnya memang kepuasan apa juga yang turut mereka rasa? tapi bagaimana bisa mereka sama sekali tidak memikirkan dampaknya?.

Bukankah sebenarnya kita sama-sama tahu, setiap orang memiliki start dan finishnya masing-masing. Apa yang menurut kita sebagai pencapaian belum tentu dipandang serupa dengan seseorang. Pun sebaliknya.

Lagipula mau sampai kapan kita terus melihat pencapaian orang hanya dengan status-status yang acapkali kita tuhankan. Seorang wisudawan/ti, seorang istri yang baik, seorang ibu yang berhasil, dan seorang-seorang yang membuat mereka tidak pernah mengenali dirinya sendiri.

Jangan saja kita sampai tidak kehabisan orang untuk diberi pertanyaan kapan wisuda, kapan nikah, kapan isi, kapan anakmu bisa ini itu, dan kapan-kapan yang tidak ada ujungnya itu membuat kita lupa mendoakan hal-hal ini, hal-hal yang seringkali terjadi dibalik jawaban atas pertanyaan yang dianggap 'tepat' ditanyakan;

Kita selalu sibuk menanyakan kapan wisuda, tapi kita lupa mendoakan agar mahasiswa dan dosen dapat bekerja sama, kita lupa mendoakan mahasiswa yang telah penuh berjuang agar dihindarkan dari dosen-dosen yang melakukan pelecehan seksual dan keluar dari kewajibannya.

Kita acapkali menanyakan kapan nikah tapi kita lupa mendoakan mereka-mereka yang berkomiten sebagai pasangan kekasih agar tidak melakukan tindak kekerasan dalam pacaran.

Kita tidak absen menanyakan kapan isi, kapan anak bisa ini-itu tapi kita lupa mendoakan seorang istri agar dihindarkan dari KDRT, agar istri tidak dipaksa berhubungan seksual dan kehilangan hak-haknya, agar anak terhindar dari keluarga dengan emosi yang meledak-ledak, juga seorang ibu agar terhindar dari tekanan dan stress yang bisa jadi membahayakan untuk anak dan keluarganya. Atau paling tidak, mari doakan diri sendiri agar tidak berbahasa sebelum mengerti kamus bahasa.

Ayolah, jawaban apa yang kemudian kita harapkan dari pertanyaan kapan seperti yang telah. Bukankah yang paling penting kita lihat dan doakan meski sedikit adalah kemanusiaan apa yang tidak mereka lupakan. Menjadi manusia dengan perubahan kecil yang mereka lakukan tapi tak luput dari dampak positif yang dapat dirasakan banyak orang, hal-hal sederhana yang bisa jadi menjembatani pencapaian seseorang dari titik satu ke titik berikutnya.

Tulisan ini saya sifatkan juga sebagai doa agar kita mau menjadi jendela yang terbuka, berbuka hati maupun benak untuk dapat melihat keluar. Melihat dan menghargai pencapaian-pencapaian seseorang, sesederhana apapun itu tanpa memberi penghakiman-penghakiman yang tak perlu. Agar tercipta sebuah masyarakat yang guyub dan saling mendoakan, tentu agar terjaga spiritualitas keguyuban itu sendiri.


Aamiin.

0 Response to "Larut dalam Tanya, Luput dari Do'a #darikacamatapuji"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel