Socio-Eco-Mubadalah Penduduk Samaran
Terhitung sejak pemerintah menghimbau agar masyarakat tetap #dirumahaja, sudah tentu akan membuat diri ini sibuk mencari kesibukan lain yang bisa mujarab menahan agar tetap di rumah dengan tidak dirundung rasa bosan.
Sebagai yang biasanya kesibukannya hanya perihal bimbingan, rasanya tidak ada jalan lain selain hanya rebahan di rumah karena kampus sedang disterilkan. Namun, ya lama-lama bosan juga rebahan, terlebih tanpa tambatan. Ekhm.
Saya kembali mengorek isi lemari saya, saya tidak menyangka bahwa ada beberapa, bahkan bisa dibilang banyak, buku yang belum saya baca sejak saya membelinya, atau yang lebih mengerikannya, buku-buku itu masih dalam keadaan virgin, belum tersentuh, plastiknya masih utuh.
Tidak cukup lama saya menetapkan memilih buku mana yang seharusnya saya baca lebih dulu, tangan saya mengambil asal buku dalam lemari. Samaran. Ya, akhirnya novel Samaran yang saya dapati di tangan saya.
Saya ingat pernah membacanya beberapa lembar, terbukti dari adanya lipatan khas saya sendiri sebagai tanda pernah menjeda. Saya mengingat-ingat lagi tokohnya. Ya, si Yati Gendut dan suaminya, Marjiin. Hanya dua tokoh itu saja yang sudah tidak asing, selebihnya, berarti memang seharusnya saya menamatkannya.
Ada banyak hal unik yang bisa disoroti dari cara penduduk Samaran melakoni hidup. Kepolosannya sebagai orang terdalam, penduduk pedalaman, penduduk terasing yang tanahnya tidak pernah diinjak oleh manusia-manusia lain di luar sana, penduduk yang hidup berdampingan langsung dengan hutan beserta mahluk hidup di dalamnya.
Samaran, nama sebuah wilayah pedalaman yang acapkali diimani bahwa keberadaanya hanya terdapat di cerita dongeng belaka, akan tetapi, sebenarnya, mimpi baiknya, memang benar-benar ada. Samaran hanya ditinggali oleh beberapa kepala keluarga yang juga merupakan keturunan-keturunan nenek moyang terdahulu, selebihnya ada kepala kampung dan satu-satunya dukun, Aba Gabah.
Penduduk Samaran memang saling akrab satu sama lain. Bentuk rumah penduduk Samaran dibuat serupa dari bahan dengan ukuran dan jumlah yang sama, namun, meskipun begitu, tidak ada satupun penduduk yang bisa salah masuk ke rumahnya.
Keakraban tersebut bisa dibuktikan dari cara masyarakat mengunjungi rumah tetangganya. Jika mereka bertamu melalui pintu dapur, itu tandanya mereka sudah lebih akrab dari sekadar tetangga, atau bisa disebut sebagai sesaudaraan. Jika mereka bertamu di teras rumah, itu tandanya mereka senang dengan kedatangan orang tersebut, mereka berbicara apa saja, hal-hal yang ringan. Apabila didapati seseorang bertamu di ruang tamu, maka bisa dipastikan orang tersebut adalah orang asing, bukan penduduk Samaran. Karena ruang tamu, bagi orang samaran, dibuat dengan kesia-siaan.
Terasingkannya dari kemoderenan di luar sana membuat Samaran tidak mengenal alat tukar, tidak tahu apa itu uang, untuk apa uang diadakan, bagaimana uang digunakan. Sebab, yang mereka tahu, jual beli hanya dilakukan manusia dan alam. Tidak ada sejarahnya, orang Samaran yang kehabisan beras akan membeli beras ke tetangganya, mereka bisa memintanya, atau melakukan barter dengan apa yang mereka dapatkan dari alam. Itu juga yang menyebabkan, meski rumah orang samaran hampir tidak pernah ditutup pintunya, tidak sering bahkan memang tidak pernah ada yang namanya kasus pencurian.
"Selama bisa mendapatkannya dengan meminta secara gratis, kenapa harus mencuri?".
Saya merasa sosio-mubadalah di Samaran ini benar-benar menakjubkan, dan saya percaya ini tidak hanya sekadar ada pada cerita di novel-novel, saya percaya masih ada, seperti masyarakat adat yang ada di bumi nusantara ini juga telah menerapkannya, bagaimana mereka hidup menghidupi tanpa siku. Pun dengan alam, eco-mubadalah penduduk Samaran dapat terlihat ketika pernah adanya wabah yang menyerang.
Wabah tersebut pernah mematikan hampir sepertiga penduduk Samaran yang jumlahnya tidak terlalu banyak itu. Bahkan orang bisa mati ketika sedang berusaha untuk kentut, wabah itu menyerang perut dan pencernaan mereka. Wabah yang diduga ada karena kebiasaan penduduk Samaran yang buang tai sembarangan, mereka bahkan biasa saja berak di depan rumah, di pinggir-pinggir jalan, mereka tidak mengenal tempat mandi. Sampai pada suatu ketika, dukun Samaran sebelumnya, Windhe, menemukan jawaban atas wabah tersebut, lalu dibuatlah setiap rumah terdapat satu tempat mandi dan buang tai.
Pasca wabah tersebut berakhir, penduduk Samaran benar-benar merawat kebersihannya, tidak ada kotoran yang dibuang sembarangan sekalipun itu kotoran sapi. Mereka memanfaatkan kotoran sapi untuk dijadikan sebagai lantai yang dipadatkan.
Penduduk Samaran tidak melakukan eksploitasi terhadap alam, mereka selalu menerima apa yang telah diberikan oleh alam. Dalam hal ini, penulis memang sangat jeli sekali menghadirkan peran alam kepada manusia, pun sebaliknya.
Saya bisa menangkap pesan lain dari yang disampaikan penulis, terlebih pada saat-saat masyarakat mulai mengasingkan diri di rumah karena pandemi corona, bahwa sebenarnya menjadi asing itu tidak selalu kerdil, dan bumi malah akan baik-baik saja selama manusia-manusianya tidak orgasme terhadap alat tukar yang karenanya bisa membuat manusia secara brutal mengeksploitasi lingkungan dan alam.
Sebenarnya saya juga tidak habis pikir terhadap orang-orang yang, di tengah mewabahnya pandemi ini, malah mengira bumi sedang sakit. Karena jangan-jangan, bumi malah sedang baik dan sama sekali tidak sakit, terbukti dari menurunnya polusi udara secara drastis di berbagai kota bahkan negara yang padat. Maka jika berdoa untuk kepulihan, doakan saja ulah-ulah manusia pemerkosa bumi itu agar segera pulih dan cepat tobat.
Sebenarnya saya juga tidak habis pikir terhadap orang-orang yang, di tengah mewabahnya pandemi ini, malah mengira bumi sedang sakit. Karena jangan-jangan, bumi malah sedang baik dan sama sekali tidak sakit, terbukti dari menurunnya polusi udara secara drastis di berbagai kota bahkan negara yang padat. Maka jika berdoa untuk kepulihan, doakan saja ulah-ulah manusia pemerkosa bumi itu agar segera pulih dan cepat tobat.
Dari sini saya rasa Samaran bisa menjadi bacaan #dirumahaja yang tepat, paling tidak menurut saya, karena di dalamnya juga dibahas bagaimana wabah hadir dan hilang, kecemasan dan ketakutan yang gesit menular, bagaimana seharusnya hidup menghidupi yang tidak mengangkangi satu sama lain, yang barangkali bisa menjadi cerminan terhadap diri sendiri, bahwa hal buruk pasti akan kembali kepada yang melakukannya.
0 Response to "Socio-Eco-Mubadalah Penduduk Samaran"
Post a Comment