Meromantisasi Sate di Selatan Kota Metro



Makan sate berdua adalah keinginan jangka pendek saya dengan the most my talkactive honey (baca: pacar saya) yang pada akhirnya setelah melalui banyak pertimbangan, kami menetapkan dan memutuskan untuk menunda makan sate berdua dalam jangka waktu yang sedekat-dekatnya.

Kurang lebih satu atau dua bulan sebelumnya, rencana ini tertunda karena hidup selalu banyak drama, there is life, there is drama yang tentu plesetan dari kalimat Mahatma Gandhi ini memang ya benar adanya.

Drama sibuk, sakit, sampai tidak punya uang merupakan drama paling masuk akal di ranah percintaan yang semakin hari semakin merasa seperti dua sejoli yang baru saja menetapkan hari jadinya sebagai pacar, padahal sudah lumayan juga, misal ditandai dengan seorang bayi, diperkirakan bayi itu sudah mulai bisa merangkak.

Setelah melewati drama yang sebenar-benarnya juga tidak terlalu begitu terlewati, akhirnya kami memutuskan untuk 'nekat' makan sate berdua. Hal ini diinisiasi oleh pacar saya yang sangat saya tahu inisiasi itu muncul demi menggugat pernyataan yang mendeklarasikan bahwa dirinya sedang dalam masa pemulihan dan tidak perlu ikut-ikutan saya puasa.

"Nggak papa, yang. Aku kuat kok, udah sembuh juga. Lagian aku udah lama ngga nyunah. Udah tho, besok kita buka puasa bareng, makan sate, ya?"

Saya tau itu adalah bentuk lain dari kata 'i love you' nya yang membuat saya seketika luluh lantak oleh kalimat bujukan sedikit ngeles yang amat manis itu. 

H-berapa jam untuk makan sate juga tidak lepas dari drama-drama seputar pertanyaan 'makan sate' di mana. Ya saya maklum saja, meski Metro ini kota kecil, pedagang sate yang lebih dari kata banyak tentu menimbulkan dilema tersendiri.

Setelah kembali menimbang, akhirnya pilihan 'makan sate berdua' jatuh pada sate pinggiran di selatan kota metro, tepatnya di 25 pinggir kiri (dari arah metro pusat) jalan lintas, kira-kira 300 meter sebelum jembatan besar arah ke 26.

Sate yang tidak sering tapi pernah saya kunjungi ini memiliki cita rasa yang sate banget dan saya pastikan ini bisa jadi referensi kalian yang senang makan di  pinggiran karena selain murah, rasanya juga tidak kalah dengan yang tersaji di restoran.

Seperti pedagang sate kebanyakan, pedagang sate di sini hanya menyajikan dua menu, sate ayam dan sate kambing dengan teman nasi maupun lontong. Ada juga menu penunjang seperti sambel dan acar yang tersedia di mejanya.


Oiya, kami pesan tiga porsi sate. Dua porsi sate ayam dan satu porsi sate kambing. Akumulasi dari tiga porsi sate dan dua piring nasi menghabiskan Rp.53.000. Cukup murah dan tidak terlalu merogoh kantong tabungan nikah terlalu dalam.

Untuk tekstur dagingnya sendiri menurut lidah kami sudah pas, tidak terlalu liat juga tidak terlalu empuk. Gajih kambingnya tidak terlalu banyak, cocok untuk yang tidak menyukai gajih. Ukuran potongan daging ya sesuai dengan harganya, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Sedangkan untuk sambalnya, porsinya tidak pelit alias banyak, kental dan ngrempah.

Tak lupa untuk meromantisasi makan sate berdua, seperti yang sudah-sudah, kami sengaja memesan menu yang berbeda, selain agar sok romantis, hal tersebut tak lain dilakukan demi memenuhi syahwat penasaran oleh menu lain. Jadi, saya pesan sate kambing dan pacar saya pesan sate ayam.

"Dibedain ya yang, nanti kalau aku pengen nyicip sate ayamnya kan tinggal ngambil punya kamu aja."

Dalam agenda buka bersama ini tentu tak lupa ada aksi suap-menyuap. Ya namanya juga meromantisasi. Usut punya usut aksi suap-suapan itu dilakukan karena saya merasa kekenyangan. Ya, ini adalah manajemen strategi paling epik yang saya punya, menolak berkata kekenyangan dan menggantinya dengan menyuapi agar lebih 'kena' sikap romantisnya, sebab hanya dengan berkata kenyang kepada kekasih saja tidak masuk nominasi romantis. Bukan begitu?

Sebagai pasangan dhuafa yang sedang berusaha berbahagia dan membahagiakan, menemukan kuliner dalam bentuk sate dengan deskripsi yang enak, murah, dan mengenyangkan tentu menjadi surga kaplingan tersendiri yang kami dapatkan di dunia. Lain kali semoga kami beruntung mendapat surga kuliner di Metro yang enak-enak dan murmer. Aamiin.

Pada akhirnya, selesai makan sate berdua ini kami sepakat, bahwa meromantisasi sebuah hubungan tidak melulu tentang coklat, bunga, dan taman. Ada beberapa hal yang bisa sekaligus dimasukan dalam 'kotak' romantis, menjelajahi kuliner metro lalu membagikannya kepada kalian yang membutuhkan rekomendasi kuliner lokal yang enak, murah dan ngangenin, hal itu sudah menjadi sisi romantis tersendiri versi kotak kita.

Berani ikutan coba? Yuk jelajah kuliner Metro!

Nantikan kuliner metro lain yang akan kami update, ya. Share jika menurutmu perlu. ❤️

Salam hangat dari kami.

Puji, Sandallll.

0 Response to "Meromantisasi Sate di Selatan Kota Metro"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel