Perempuan Desa dan Kepelikkannya


Sebagai mahasiswa tingkat akhir, ternyata saya malah sering menghabiskan waktu di rumah. Selama satu pekan, kuantitas pergi ke kampus bisa diitung dengan itungan jari, sekali atau paling sering tiga kali. Itu saja tidak sampai menghabiskan waktu sehari seperti biasanya. Hanya beberapa jam, setelah itu pulang.

Terhitung dari tanggal 26 Februari 2020 sampai hari di mana lahirnya tulisan ini, saya masih di rumah. Sepagi ini melihat perempuan desa sudah nimbrung persoalan 'tandurannya' yang sudah diperkirakan akan gagal panen.

Sebenarnya ini sudah menjadi hal biasa di dunia pertanian pun perkebunan. Akan tetapi jika persoalan ini terus berlanjut, tentu saja warga di sini akan merasa tercekik oleh perekonomian yang entitasnya semakin tidak masuk akal.

Saya juga baru menyadari bahwa betapa perempuan-perempuan di desa saya ini memiliki peran yang sangat vital di sektor pertanian. Tidak seperti banyaknya wacana yang sering saya jadikan teori bahwa perempuan desa selalu termarjinalkan pada sektor yang mana seorang perempuan seolah tak pernah diberi ruang untuk sekadar nimbrung di lahan yang masih banyak dipercayai sebagai sektornya kaum lelaki.

Ternyata apa yang pernah begitu ndakik saya pikirkan menyoal perempuan desa di desa lain, bisa jadi berbeda dengan persoalan perempuan  desa di desa yang saat ini saya tinggali.

Dan ternyata benar saja, beberapa hari di rumah, saya manfaatkan untuk berinteraksi langsung dengan perempuan-perempuan ini agar terpecahkan rasa penasaran saya akan standar ganda yang diemban perempuan desa.

Di sini, pernah saya lihat sepintas saja, saya merasa bangga melihat perempuan desa bekerja militan di sektor pertanian yang tenaganya benar-benar tidak kalah saing dengan tenaga lelaki.

Kebun belakang rumah saya sedang panen jagung, pekerjaan kupas jagung yang nagudubillah bisa membuat tulang protol, cekat dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki. Mereka bekerja dari sebelum matahari terbit sampai matahari tenggelam. Usai masa panen ini, mereka akan segera melubangi tanah untuk kemudian ditaburi bibit jagung maupun padi.

Sekilas, saya merasa perempuan-perempuan desa di sini kok berdikari juga, ya. Selain menjadi petani mereka juga merangkap menjadi buruh tani. Mereka dan suaminya sama-sama bekerja dan bekerja sama, tidak ada yang hanya 'salah satu' saja yang memiliki tanggungjawab memenuhi.

Usut punya usut ternyata yang saya lihat tidak semubadalah itu. Meskipun boleh dikata bahwa perempuan dan lelaki sebagai subjek yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, saya tidak jarang melupakan satu hal ini, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa disamaratakan antara keduanya, 'pengalaman bilogis'.

"Kesel mari, mari kesel kalau kerja tani begini. Kerjanya berat, susah kalau tiba-tiba bekas sesar nyeri. Nggak bisa cepet kerjanya, ketinggalan temennya kan nggak enak."

"Sebenarnya nggak sanggup, nduk. Tapi ya kadang suami ngerjain yang lain, terus minta saya yang gantiin."

"Perempuan desa ya harus bisa bertani, malu kalau tinggal di desa apalagi punya istri orang desa tapi nggak mau ke sawah."

Kira-kira begitulah jawaban yang saya dapatkan dari hasil wawancara kecil-kecilan saya.

Oiya, upah tenaga buruh petani lelaki dan perempuan di desa saya disamaratakan, ini menandakan bahwa perempuan dipaksa mengeluarkan tenaga yang sama besarnya, begitu juga dengan durasi waktu bekerja. Dan jika saya lihat, hal seperti ini sudah berlangsung sejak zaman dulu.

Untuk hal yang satu ini, saya teringat ibu fatonah, ibu dari pacar saya, ibu separuh baya ini pernah bercerita begini;

"Orang kalau rekoso (kerja berat) ya enak makan. Orang zaman dulu tu nggak ada yang kurus, dagingnya lemes kaya anak sekarang, dulu anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak pada kesawah. Semua ngluku, nyemprot, ndaut, ngowai tanah bareng-bareng, perempuan laki-laki." (terjemahan dari Bahasa Jawa)

Bisa dibayangkan betapa sudah sejak dahulu pekerjaan di sektor pertanian itu amat berat, dan sektor ini tidak hanya melibatkan kaum laki-laki, dan itu berlangsung sampai sekarang. Pekerjaan seperti ngluku, nyemprot, dan lain-lain itu juga dilakukan oleh perempuan desa.

Perempuan desa masif dilibatkan dalam hal pertanian, dan bisa menjadi satu-satunya yang berperan apabila mereka seorang janda di desa, atau suaminya sedang mengerjakan pekerjaan lain.

Saya merasa untuk persoalan 'peran', perempuan-perempuan di desa saya ini sudah selesai lah, karena memang tidak ada yang dibedakan, akan tetapi justru di situlah yang semestinya disoroti.

Saya teringat sebuah kalimat yang diucapkan oleh kyai Faqih dan nyai Nur Rofiah pada kesempatan ngaji Mubadalah, kalau setara itu tidak harus sama. Setara itu adalah proposional. Kalau saya lihat sekarang, konsep sama rata antara tenaga perempuan dengan lelaki, justru malah terlihat  sebagai bukan keadilan lagi.

Stereotip perihal perempuan harusnya lemah lembut, perempuan bertugas di dapur, perempuan harus ayu dan terawat tidak berlaku lagi di sini. Mereka harus memaksimalkan perannya sebagi seorang 'tani', tidak peduli jika jahitan operasi sesarnya belum sembuh total, tidak peduli, selama mereka adalah perempuan yang hidup di desa, mereka harus bisa.

Memberikan peran tani itu tidak salah, sama sekali. Dan perempuan yang memilih tidak begitu ngoyo maupun memilih tidak terlibat di sektor pertanian juga tidak masalah --bagi saya, yang salah adalah ketika banyak pihak yang selanjutnya mengeksploitasi tenaga perempuan desa dengan berbekal stigma 'numpang hidup dan lemah' apabila mereka tidak memilih bertani. Harus ada pertimbangan jika tidak semua perempuan mampu di beri peran yang sama, tidak bisa memaksimalkan perannya karena ada suatu hal.

Semoga perempuan-perempuan di desa manapun mereka berada, mereka sejahtera dan menyejahterakan, mereka diberi kesehatan dan kekuatan. Mereka dimerdekakan untuk memilih 'berperan sebagai siapa'. Mereka menanam dan bertani bukan karena stigmasisasi, mereka melakukannya karena mereka sadar dan tulus merawat kehidupan di ibu bumi. Mereka sudah berperan dengan sangat baik, selanjutnya semoga tidak ada yang menyalahgunakan dengan mengeksploitasi 'peran' tersebut.

Selamat Hari Perempuan. Selamat berperan tanpa terperangi.



0 Response to "Perempuan Desa dan Kepelikkannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel