Saya Perempuan Salaf, dan Saya Tetap Bekerja
"Nggak ada alasan untuk nggak bekerja di jalan Allah, Mbak. Apalagi kerjaannya yang disunnahkan Rasulallah." Ungkap lawan bicara saya, seorang perempuan, muslimah salaf yang sedang mengemasi dagangannya di dalam rumah untuk dibawa suaminya ke pengiriman kilat untuk diantar ke beberapa wilayah yang menjadi resellernya.
Sekitar kurang lebih satu tahun lalu, saya pernah membantu penelitian dosen saya yang pada saat itu mengharuskan saya berinteraksi langsung dengan perempuan-perempuan bermanhaj salaf di Kota Metro Lampung. Namun, untuk yang satu ini, saya tertarik mengulasnya kembali dalam sudut pandang yang berbeda, -kemerdekaan bekerja.
Sebagaimana awamnya saya, saya pernah meyakini bahwa golongan salaf adalah golongan eksklusif. Mereka secara penuh, hidup dengan meninggalkan budaya modern. Dan perempuannya pun saya kira, sebagai seorang muslimah yang sudah mengklaim puritan pada ideologi, seolah tidak juga terpengaruh dengan trend perempuan karier yang aktif di publik seperti sekarang ini dengan berbagai latar belakang profesi.
Namun, obrolan singkat kami saat itu seolah menambah perspektif baru pada saya dalam memandang perempuan salaf. Memang benar, di balik komitmen ke-Islaman mereka dalam memelihara kesucian agama, terdapat sarana-sarana syar'i yang kemudian menjadi batas pergaulan mereka sendiri di ranah publik. Akan tetapi, apakah hal tersebut menghalangi Muslimah Salaf di depan saya ini untuk bekerja? Ternyata tidak. Kita mesti berpikir, sekalipun tidak menghalangi bukan berarti pilihan bekerja itu kemudian menjadi mudah, bukan?
Lain halnya dengan Muhammadiyah maupun NU yang memiliki organisasi otonom bagi muslimahnya, seperti Aisyiyah maupun Fatayat dan Muslimat yang kemudian menjadi suatu upaya memberi kesempatan agar muslimahnya dapat memainkan perannya di publik, untuk kelompok salafi dengan segala pembatasannya terhadap perempuan, untuk bergerak di ranah publik jelas menjadi sesuatu yang muskil bagi muslimah salaf.
Tentu saja hal tersebut berpengaruh secara khusus bagi mereka yang ingin bekerja; mengekspresikan kemampuannya. Namun, meskipun ada keyakinan syariat yang membuat mereka harus ekslusif dan menutup diri, ditambah dengan domestifikasi yang mereka terima, saya melihat informan saya, seorang muslimah salaf ini, tetap militan pada pilihannya untuk bekerja sebagai pedagang peralatan rumah tangga.
"Customer Ibu nggak ada yang laki-laki kah, Bu?"
Tanya saya penasaran atas keyakinan pembatasan interaksi antara lawan jenis yang mereka yakini sebagai kemudharatan yang barangkali menjadi tantangan tersendiri dalam bermuammalah, sedangkan sebagai pedagang jelas saja kita tidak bisa memilih siapa yang menjadi customer kita. Saya atau barangkali kita semua pasti akan membayangkan betapa sulitnya mengembangkan bisnis jika interaksi saja dibatasi.
"Ya, ada. Tapi jarang banget, Mba. Soalnya kan saya jualan keperluan Ibu rumah tangga. Sekalipun ada biasanya di market place. Kalau offline nggak seberapa banyak kok interaksi dengan customer laki-laki, malah kayanya nggak ada deh. Kalau online, meskipun laki-laki yang order kan nggak masalah soalnya nggak berinteraksi langsung. Cukup via phone. Jadi ya saya tekuni saja lah."
Melihat fenomena ini saya jadi ingat ketika Dr Nur Rofiah dalam serial ngaji KGI yang pernah saya ikuti, mengatakan bahwa di dunia ini, seorang perempuan, terlahir sebagai 'perempuan' saja itu sudah salah, nggak peduli apa latar belakang perempuan tersebut. Apalagi kalau perempuan itu sudah mulai bicara tentang yang lain-lain, selain nggak didengar, sekali didengar malah disalahkan, didebat, dll.
Muslimah salaf yang saya temui ini seolah juga memberitahu saya, bahwa beberapa persoalan dalam hidup bisa bertambah menjadi dua kali lipat kalau kita adalah seorang perempuan, terlahir sebagai perempuan. Dan itu memang benar adanya. Akan tetapi baginya, ikhlas dan tekun adalah modal dalam bentuk lain yang dikasih Tuhan untuk beribadah dalam bentuk lain pula; mencari rejeki di jalan-Nya.
Saya sama sekali tidak merasa salah telah meletakkan kagum saya kepada seorang perempuan, ibu dari dua orang anak ini, dengan segala domestifikasi yang ia dapat, entah dari karena dia seorang 'perempuan' ataupun seorang 'muslimah salaf' yang membuat langkahnya bekerja menjadi jauh kebih kecil dan terseok-seok. Ia tetap tekun dengan pilihan hidupnya untuk bekerja, berupaya untuk mandiri secara ekonomi.
Dengan segala yang telah ia upayakan sejauh ini, muslimah salaf di depan saya ini telah membuktikan hal lain kepada saya bahwa kemerdekaan justru bukan dari omset jutaan yang ia dapatkan setiap hari, ia membuat saya melihat kemerdekaan itu justru jauh di dalam keikhlasan dan kemampuannya sebagai menusia utuh yang mampu menentukan dan bertanggung jawab atas pilihannya, jalan takwanya.
Perihal kemerdekaan bekerja, saya percaya bahwa setiap muslimah yang memilih bekerja adalah yang sepenuhnya sadar bahwa ia bisa berdaya akan hal yang telah dipilihnya itu. Merdeka bekerja adalah merdeka dari pilihan yang sengaja dikotak-kotakan untuk membatasi kedigdayaan perempuan itu sendiri.
0 Response to " Saya Perempuan Salaf, dan Saya Tetap Bekerja"
Post a Comment