Dengan Cara Apa Kita Marah? (Sebuah Refleksi dari Lagu Semakin Tinggi)
Sebagai seorang yang memilih diam ketika merasa 'marah', saya sering kali mendapat validasi sebagai manusia yang tak pernah mau membenahi cara berkomunikasi yang baik. Saya tidak kuasa menyalahkan cara pandang itu, mereka marah dengan caranya sendiri, pun saya.
Namun, memilih 'diam' sebenarnya adalah cara saya melarikan diri dari resiko berbicara dengan nada tinggi dan kasar. Ya, memilih diam ketika marah adalah bagaimana cara saya berkomunikasi dengan diri sendiri untuk mereda. Saya mengantisipasi agar tidak ada kata-kata tinggi cum kasar yang mendarat di telinga liyan, lalu melukainya.
Apakah tidak bisa bicara baik-baik selain diam dan berkata kasar?
Tentu saja bisa, saya pikir tidak ada hal yang memiliki alasan untuk dibicarakan dengan tidak baik-baik. Namun, sebagaimana segala sesuatu itu terjadi, di sana selalu ada yang berproses. Sialnya, kita acap kali terburu-buru dalam mengerti seseorang yang sedang tidak baik-baik saja dan, tak segan menghilangkan rasa empati. Kita terlalu cepat memberikan validitas dengan mengeluarkan nada bicara yang justru malah melahirkan kemarahan-kemarahan baru.
Dan ya, sebagaimana mereka, bukankah kita sendiri juga tidak pernah menemani seseorang berproses dari caranya berdialog dengan jiwanya?
Saya tidak ingin menafsirkan lagu ini sedemikian dalam, tidak ada kebenaran mutlak atas pemahaman dari sebuah karya, saya juga tak berharap prestis kebenaran dari yang memberikan lagu ini setangkup nyawa. Namun, izinkan saya menuliskannya sebagai pendengar, yang merasa 'semakin tinggi' perlu saya refleksikan dalam menjalani dialog kehidupan.
Sejak dirilis pada empat April lalu, saya sudah merasa bahwa 'semakin tinggi' tidak hanya ditujukan kepada mereka yang sedang 'marah' akan tetapi juga kepada yang sedang menghadapi 'kemarahan', karena tak jarang, jika tidak bijak menyikapi, kemarahan satu akan menyulut kemarahan-kemarahan baru.
Saya percaya, lagu ini tak pernah melarang seorang 'manusia' untuk marah, juga mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Tak pernah sama sekali memaksa seseorang untuk melupakan salah satu ciri kemanusiawiannya. Tapi cara bersikap ketika marah adalah hal lain yang perlu dipertimbangkan dari sisi kemanusiaan, sebagai manusia, bagaimana eloknya berbicara meski sedang tidak baik-baik saja.
Terima kasih dan selamat atas lahirnya maha karya kedua dari HUDAKARSA dan tim yang sebelumnya merilis lagu Rangkai dengan paham Eco-Feminismnya. Lewat lagu ini semoga para manusia-manusia itu mau coba memahami, bahwa kita boleh saja marah, dengan tidak melupakan cara 'memanusiakan manusia.'
Selamat mendengar!
0 Response to "Dengan Cara Apa Kita Marah? (Sebuah Refleksi dari Lagu Semakin Tinggi)"
Post a Comment