Payungi dan Kolaborasi
Sembari mengingat pertama kali kami bertemu, beberapa hari lalu saya dan Ahmad Mustaqim berencana menjalankan fiqih mingguan, -mencari sarapan di Payungi. Menikmati suasana sarapan berdua yang biasanya cuma diingatkan via chat, kali ini bisa sekalian minta disuapin. Ee
Sebelum menemui titik kesepakatan, tentu saja saya harus baku kata dulu dengannya. Tidak bisa dipungkiri memang, saya jarang sekali mengajak ia kencan di waktu rentan 'bangkong', apalagi ke Payungi, yang datangnya kesiangan dikit saja, harapan untuk dapat sarapan mesti dibiarkan pupus.
Namun, hari ini Payungi akan mengukir sejarahnya kembali, bagaimana Payungi hadir dan memberi ruang untuk menyalakan nyawa kekreatifiasan dan wujud seni yang dikandung oleh kota kecil ini.
Sebagai seorang yang sudah terlanjur mencintai tempat belajar menempa diri, juga yang mempertemukan saya dengan seorang yang akan membangun peradaban 'mulai dari rumah', tentu saja saya tidak ingin melewatkan untuk yang satu ini; kolaborasi Payungi dengan para seniman.
Saya ingat-ingat kembali, hal ini bukanlah pertama kali setelah hampir tiga tahun Payungi berjalan berkolaborasi dengan komunitas pegiat seni. Sebelumnya, Payungi sudah mengadakan event-event yang juga melibatkan komunitas-komunitas di Lampung, khususnya Kota Metro, seperti event musik, mural, dan kemudian pada kesempatan ini ada satu bulan penuh pameran seni lukisan.
Selama hampir menginjak usianya yang ketiga tahun juga, Payungi tetap setia menunjukan kekonsistensiannya untuk 'ramah' kepada siapa saja, yang bukan tidak mungkin hal tersebut dapat membidani jalan Payungi dalam berkolaborasi dengan prinsip abcgm pentahelix, merangkul seluruh elemen mulai dari academician, business, community, government dan media.
Berbicara perihal 'keramahan' saya juga ingat Mustaqim pernah bercerita sepenggal pengalaman kunjungannya malam hari lalu ke Payungi untuk mengantar pesanan buku. Bersamaan dengan pesantren wirausaha, ia juga khidmat mengikutinya.
Mustaqim menceritakan apa-apa yang disampaikan oleh Ketua Pasar, Pak Tsauban, dalam pesantren wirausaha tersebut, bagaimana dengan sedemikian karakter 'tenang' nya beliau menyampaikan pengertian, bahwa dalam gerakan pemberdayaan warga, tidak ada yang tidak baik, apalagi sampai harus saling menjatuhkan sebuah gerakan yang telah dikerjakan secara bersama-sama.
Gerakan apapun yang baik sudah seharusnya didukung agar lebih baik, yang belum baik, sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk membuatnya menjadi baik. Mencari-cari kesalahan dan terus menyalahkan bukanlah ciri dari kolaborasi.
Sebagaimana tobong art space yang kini juga menggambarkan bagaimana kolaborasi bekerja, yang indah tentu saja bukanlah yang serupa, tapi yang bersenirupa, -yang melahirkan berbagai karya dengan banyak komposisi keestetikaan tanpa memaksa harus diseragamkan.
Salam Payungi, Salam Kolaborasi.
0 Response to "Payungi dan Kolaborasi"
Post a Comment