Lawan Stigma Ibu Tiri
Apa yang kemudian melintas di kepala kita ketika mendengar kata 'ibu tiri'?
Baik, sudah dipastikan citra 'buruk' yang beragam. Kita tidak akan asing dengan kekejaman yang sudah melegenda pada ibu tiri, persis, seperti kebanyakan fiksi lama yang mengangkat kasus tindak kekerasan ibu tiri.
Anggapan serupa juga akan jamak kita temui di mesin pencarian google, ketika sudah mengetik kata kunci 'ibu tiri', berbagai pandangan negatif akan banyak bermunculan. Dari kelicikan sampai soal kecemburuan, seolah menjadi 'ibu tiri' ini harus didesain sedemikian sempurna untuk dapat dikatakan sebagai ibu tiri yang 'benar'.
Tidak sedikit saya temui stigma tentang ibu tiri ini membuat saya merasa seakan yang perlu diwanti-wanti dan dididik kok hanya pihak penyandang 'ibu tiri'. Padahal, seharusnya, peran 'ibu tiri' yang dilematis itu dapat dipahami setiap orang yang terlibat dan masyarakat sekalipun.
Bukankah kita bisa untuk tidak selalu melekatkan stigma negatif kepada ibu tiri?, mengulang kembali dan tidak juga beranjak dari dongeng-dongeng purba itu, yang padahal akibatnya ibu tiri ini sulit diterima di keluarga.
Lihat saja, Ibu tiri dengan segala pembawaanya akan selalu diposisikan sebagai tokoh antagonis dalam keluarga. Tidak jarang, bahkan seringkali naluri keibuan 'ibu tiri' malah dipandang sebelah mata, padahal peran ganda yang disandang oleh seorang perempuan, menjadi istri cum ibu pada anak dari pernikahan suami sebelumnya, –bukanlah perkara sederhana.
Bisa kita bayangkan, seorang yang begitu dianggap asing, dengan segala kesediaanya, memberikan waktu, tenaga, pikiran, juga kasih sayang yang paripurna, –bukan hanya kepada suaminya, akan tetapi juga pada anak yang tidak lahir dari rahimnya. Bukankah itu sudah menjadi tantangan tersendiri untuk sebagian perempuan? Bagaimana tidak, salah sedikit saja, orang sudah akan beranggapan bahwa ibu tiri tidak dapat adil kepada anak-anak tiri mereka, seperti mereka adil kepada anak-anak yang lahir dari rahim sendiri.
Kisah serupa ini pernah saya temui pada tetangga saya, keputusannya untuk menikah lagi, –terlebih dengan duda yang memiliki anak, bukanlah perkara enteng. Namun, hidup dengan stigma yang ada pada 'janda' juga tidak bisa dipikul sendiri.
Belum juga rampung dengan urusan janda. Ketika menikah lagi, seorang perempuan, harus pula menghadapi stigma 'ibu tiri'. Ah perempuan!
Saya sendiri kurang faham mengapa keluarga dan masyarakat dengan begitu mudah melabeli perempuan yang pernah gagal dalam rumah tangganya ini, yang kemudian harus kembali berumah tangga, yang bukan tidak mungkin, bahwa sebelumnya –pernikahan menjadi hal yang membuatnya trauma.
Belum lagi citra 'ibu tiri jahat' yang sangat kuat di lingkungan masyarakat, membutakan peran yang seharusnya diimbangi dengan peran seluruh keluarga, malah hanya membebankannya kepada ibu tiri tersebut.
Namun, juga tidak bisa kita pungkiri bahwa benar adanya 'ibu tiri' dengan perangai serupa, seperti yang banyak dipandang orang. Akan tetapi bukankah amat tidak bajik, ketika kita malah memukul rata 'stigma negatif' yang disandang ibu tiri, atau barangkali kita sudah lumrah memisahkan sikap antagonis dan protagonis pada tubuh yang bebeda, padahal bukan tidak mungkin kedua sikap tersebut berpotensi ada di dalam satu tubuh.
Sama halnya seperti urusan ibu tiri ini, kita seperti memisahkan kedua sikap tersebut, antagonis adalah ibu tiri, sedangkan protagonis sudahlah pasti ibu kandung.
Pada Novel A Thousand Splendid Suns karya Khaled Hosseini, yang menceritakan peran ibu tiri dengan sosok yang penuh kasih sayang dan ibu kandung dengan segala sikap yang bertolak belakang dari apa yang sejauh ini kita anggap selalu ‘baik’, –seharusnya membuat kita kembali memaknai, bahwa sikap baik dan buruk itu bisa tumbuh pada diri siapa saja, bukan hanya melekatkannya kepada ibu tiri sebagai sosok yang tidak bisa tidak antagonis.
Saya pernah membaca tulisan yang entah saya lupa sumbernya; ketika menikah, kita juga sedang menikahkan masing-masing keluarga kita, –yang saya sendiri menyimpulkan, bahwa setiap keluarga harus saling berkerja sama, persoalan ibu tiri ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh pihak penyandang 'ibu tiri' saja. Keluarga harus kompak menghapus stigma yang ada, menghilangkan ketidakadilan dengan tidak memberikan beban yang lebih pada satu diantaranya. Karena pada dasarnya anggota keluarga yang mempunyai hubungan genetis, pun yang tidak memilikinya, sama-sama memiliki tugas, peran, dan fungsi dalam membentuk keluarga yang sehat dan harmonis.
0 Response to "Lawan Stigma Ibu Tiri"
Post a Comment