Angkat Galon ala Perempuan
Menjalani kehidupan sebagai salah satu mayoritas di kelompok kkn-ppm selama kurang lebih sudah satu minggu ini, saya sadar bahwa identitas saya sebagai seorang perempuan ternyata bisa menjadi sesuatu yang memberatkan.
Hal ini saya sadari ketika pada suatu waktu di setiap hari di posko, kami selalu kehabisan air minum. Bayangkan saja, dua galon untuk minum sebanyak 25 orang, tidak sampai hitungan hari, dua galon itu pun acapkali tandas.
Dan payahnya, 18 perempuan diantaranya,--t ermasuk saya, selalu mengandalkan lelaki dalam hal tukar menukar air galon. Pasalnya, selain menye, sebagai perempuan kami merasa tidak seharusnya ditugaskan angkat galon.
"Angkat galon itu berat, dan berat adalah pekerjaan laki-laki. Titik. Tidak boleh di bantah!."
Padahal dengan lelaki sebanyak 7 orang --yang tidak sering --bahkan tidak pernah stay di posko, membuat kami sulit sendiri, usai makan kami harus legowo dengan keseretan nasi khas Tanjung Menanti ini, --membiarkan tenggorokan meronta-ronta sembari menunggu pahlawan angkat galon itu datang. Setiap hari, secara kontinyu, seakan urusan galon ini sudah menjadi masalah yang cukup konkrit untuk segera dicarikan jalan keluarnya.
Menyadari setiap hari dihadapkan oleh persoalan yang menyangkut keberlangsungan hidup umat yang sudah sangat larut ini, hal pertama yang saya lakukan adalah segera mencari teman laki-laki yang bersedia bergantian dengan teman lelaki lain untuk stand by di dalam posko, alih-alih agar setiap kehabisan air, kami tidak perlu lagi khawatir siapa yang segera mengisi air. Karena di otak saya, sudah terbayang berbagai macam kemungkinan-kem ungkinan buruk apabila saya sendiri yang nekat angkat galon itu, sehingga, yang paling pertama saya lakukan adalah mencari laki-laki.
Herannya, tidak sedikitpun pernah lewat di otak saya, --barangkali juga seluruh teman perempuan saya, untuk mencari teman perempuan yang ada untuk kemudian berkongsi dalam hal angkat-mengangk at galon sampai ke dalam posko ini, --mencari laki-laki rasanya menjadi jalan pintas yang paling menjanjikan buat saya. Laki-laki lebih kuat. Laki-laki sudah biasa nenteng yang berat-berat.
Dan ya memang, ketika berbicara tentang angkat mengangkat--ter lebih galon yang masuk dalam nominasi berat ini --otak saya yang paling primitif langsung menjadikan pria sebagai tameng yang dapat mengentaskan semua kekhawatiran akan keberlangsungan hidup ini. Hashhhh
Saya sendiri sebenarnya juga merefleksikan pengalaman tersebut dengan apa yang selalu ditanamkan oleh masyarakat selama ini, --termasuk teman lelaki di sini.
“perempuan itu jangan suka ngambil kerjaan lelaki, kalau seperti itu malu-maluin laki-laki, lah." kata salah satu teman saya dalam serangkaian nasihat panjang-lebarny a tentang akibat campur tangan perempuan yang bisa membobrokan kemaskulinitasa n para lelaki.
Saya menyadari, bahwa memang perempuan ini masih latah menggantungkan kemampuannya pada kekuatan laki-laki karena ada semacam privilese yang dipegang lelaki dalam masyarakat. Kekuatan mereka lebih famous dibandingkan dengan perempuan. Dan ya you know lah, mereka juga sudah dibekali dengan ilmu kanuragan yang tak kasat mata itu, yang sering kita sebut dengan patriarki.
Betapa perempuan hanya berperan memegang ekspektasi untuk terus 'dimanja' di bawah sayap lelaki. Sebab, hanya bersama mereka kami merasa tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih. Belum lagi stereotip tentang perempuan sebagai makhluk lemah yang haus belas kasih cum perhatian dari laki-laki ini. Ya begitulah cara kerja ekspektasi sosial mematikan kepercayaan diri perempuan dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri di saat-saat yang dibutuhkan.
Padahal bukan tidak mungkin, laki-laki yang digadang-gadang sebagai pahlawan ini, -- yang harus siap sedia ketika kebutuhan domestik dan afeksi mulai membuncah, merasa tidak diberatkan, --terlebih oleh hal sesepele angkat galon.
Ehhh.. apa sih, masalah angkat galon kok bisa meleber sealay ini. Sudah, kamu perempuan, angkat aqua gelas saja kwkwkw
0 Response to "Angkat Galon ala Perempuan"
Post a Comment