Skandal Zara: Representasi Laki-laki Patriarkial
Jujur saja, beberapa hari belakangan ini saya memang sibuk membuat konten untuk Instagram, karena hal tersebut saya seperti tidak memiliki waktu untuk buka-buka timeline media sosial, sekadar untuk skrul-skrul tidak jelas seperti lakon pengangguran pada umumnya.
Tidak selalu mulus perjalanan imajinasi untuk ngonten ini, hari ini saya benar-benar merasa stuck untuk meneruskan konten, dan alhasil saya coba mengalihkan diri dari laptop, mencoba memanjakan diri dengan skrul timeline twitter, berharap menemukan hal-hal jenaka, terlebih setelah viralnya Bu Tedjo pada film Tilik (2018), meme-meme ibu-ibu ini membanjiri beranda saya.
Namun, ternyata ada hal yang saya lewatkan, hal ini saya sadari ketika teman sefollowan saya ditwitter ngejokes 'grepe tete': "Salut saya sama Zara, adeeuuhh, fans lah pokokna mah." Lah, kalau sudah begini, siapa yang tidak ingin memberi makan ego keponya? di tambah dengan munculnya komentar-komentar netizen pada postingan di akun instagram Bio*re agar mencabut kerjasamanya dengan Zara sebagai brand ambassadornya. Seneng banget emang nih matiin rejeki orang.
Rasa penasaran saya ini semakin menjadi, ternyata. Saya mencari info-info tentang Zara ini, ya, tentu saja tidak sulit. Cukup mengetikkan kata kunci 'Zara' dari lini twitter - YouTube kita akan menemukan banyak sekali video-videonya, -dari yang asli sampai yang sudah diremake oleh sebagian orang sebagai 'lelucon'.
Pasalnya, dalam video tersebut, Zara membuat video melalui story ig dan dipost secara langsung di akunnya, duduk berdempetan dengan lelaki yang diduga sebagai pacarnya. Mirip lah dengan cuplikan Dian yang digambarkan oleh Bu Tedjo. Entah pada detik keberapa, tangan pacarnya ini memegang setengah menekan payudara Zara. Dan tidak lama, video ini langsung tersebar dan viral. Kurang lebih seperti itulah duduk perkaranya.
Skandal seperti Zara ini tentu saja bukan hal baru, dan sudah jadi topik pasaran tapi tetap diminati sepanjang zaman oleh Bu Tedjo N The Genk versi tempat tinggal kita masing-masing. Yang membedakan hanya, karena Zara ini seorang public figur, sehingga lebih banyak persepsi pro dan kontra, atau lebih mudah penggambarannya, seimbang lah antara tim Bu Tedjo dan tim Yu Ning ini.
Akan tetapi keluar daripada itu, di balik perdebatan antara pembelaan dan penghakiman yang diterima oleh Zara, hal tersebuat sangat tidak sebanding dengan apa yang didapat oleh pacar Zara ini. Tindakan yang dipercaya sebagai kekeliruan keduanya, -yang telah dilakukan oleh dua orang ini memunculkan pertanyaan, mengapa lebih banyak opini yang menyudutkan pihak perempuan, -Zara? Mengapa tidak keduanya? Mengapa skandal ini seolah hanya merugikan Zara, sampai ia harus terancam kehilangan karirnya?
Bukan, saya bukan mau membela Zara, apalagi membenarkan, ya lebih tepatnya mengurusi syahwat sepasang kekasih ini. Akan tetapi, perlu saya sampaikan bahwa ada yang tidak pernah kita sadari pada seringnya muncul masalah-masalah serupa seperti ini, padahal hal itu sangat dekat dengan kehidupan kita.
Barangkali kita pernah mendengar apa itu revenge porn, dan kenapa revenge porn selalu dipakai lelaki untuk mengancam pacarnya? Padahal revenge porn bisa jadi memunculkan wajah keduanya? Kenapa yang selalu merasa takut adalah perempuan? Jawaban ini tentu saja bisa kita lihat pada skandal grepek tetek yang masih hangat ini.
Pacar Zara, lelaki ini, dia adalah representasi laki-laki patriarkial yang pada otaknya sudah tertanam untuk menomorsekiankan perempuan dan segala penghidupannya, perempuan seringkali hanya dijadikan sebagai objek seksual, tidak menganggapnya sebagai manusia, dan dibuat seolah tidak layak mendapat prioritas bahkan keamanan, sekalipun itu datang dari orang terdekatnya, -pacar, itu sebabnya mengapa ia tidak bisa menempatkan 'nama baik' perempuan sebagai prioritas untuk dijaga.
Video yang diambil dengan sangat sadar dan sengaja oleh keduanya ini, seperti membuktikan bahwa dengan sadar juga, di hadapan publik, seorang lelaki seringkali haus pengakuan bahwa mereka berkuasa atas tubuh perempuan, terlebih perempuan ini adalah seorang public figure, sebuah waktu yang tepat untuk kemudian merasa bangga, karena sebagai lelaki, ia telah berhasil menaklukan hati pacarnya, -bukan syahwat dan tititnya. Dan sialnya, kita memaklumi itu.
0 Response to "Skandal Zara: Representasi Laki-laki Patriarkial"
Post a Comment