Review Film Bumi Manusia
“Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya,sehormat-hormat nya”.
Saya masih ingat, pertama kali tertarik baca Bumi Manusia ialah ketika team metrouniv.ac.id bersama Dema FEBI --kalau tidak salah-- adakan bedah buku Bumi Manusia ini.
Lalu tak lama setelah itu, saya mendengar kabar, bahwa novel ini akan diadaptasi jadi film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Pikiran skeptis saya pun muncul; Lah, yakin nih directornya bisa memenuhi segala ekspektasi yang tinggi?
Terlebih ketika Hanung memilih Iqbalee yang kedilan-dilanan itu,--yang sudah melekat jiwa gombal-gombalny a-- banyak menumbuhkan keraguan untuk memerankan tokoh utama, Minke, Tirto Adhi S. (Ya disini ada scene minke gombalin Ann sih, bikin tambah gemassshhh kwkwk)
Dalam 181 menit pemutaran film ini, Dilan eh Iqbaal Ramadhan sebagai Minke, menurut saya tidak buruk, juga tidak terlalu apik. Tapi ya memang harus diakui, Iqbalee dalam film ini, ia mampu dengan cepat bertranformasi dari Dilan banget ke Minke (tapi belum pakai banget). Usaha yang patut diapresiasi.
Disisi lain, yang stole the show adalah Sanikem yang akrab dipanggil Nyai Ontosoroh, yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Sosok wanita independent yang luar biasa berani, namun tidak menghilangkan sisi lembut keibuannya, keep character, dan elegan. Standing ovation untuk Sha Ine Febriyanti.
Selain itu, ada pemeran lain yang memberi rasa baru pada film ini, meski screen timingnya terhitung singkat, ialah Kelly Tandiono yang berperan sebagai Maiko yang bekerja di rumah bordil milik Ah Tjonk. Petjahhhh!!!
Awalnya memang terkesan buru-buru dan terasa rancu, sih. Loncatan ceritanya masih terasa kurang halus. Namun, semakin kesini oke kok, dan cerita bisa sampai terasa ‘attach’ sama karakter kecil sekalipun. Bisa ikutan emosi.
Jadi, terdapat tiga bahasa yang digunakan pada film bumi manusia ini; Jawa, Melayu, dan Belanda. Diawal banyak dialog menggunakan Bahasa Belanda yang bikin gelagepan nyari-nyari terjemahnya dibawah. Hehe.
Untuk settingan jaman kolonial, so far, akurat dan terasa autentik. Termasuk budaya seperti hightea, dansa, dan tempat opiumnya terasa autentik dan seperti tidak sekadar dibuat hanya untuk keperluan sebuah film.
Minusnya? kalau menurut saya ada beberapa bagian yang dialog dan perannya terlalu lebay, jadi geli sendiri. Pun dengan beberapa scene yang dimana kemistri dari aktornya masih belum 'ttsahhh'.
Jadi kalian, yang belum, masih, atau sudah baca novelnya. Terus penasaran bagaimana hasil adaptasi tersebut, sila tonton. Sebagaimanapun hasilnya, perfilman Indonesia tetap patut diapresiasi. Sila berekspektasi tinggi. Berharap lebih boleh, tapi sebaik-baik berharap ialah kepada Tuhan, bukan manusia. Ehh apa sih.
Oh iya, yang bikin merinding, sebelum film diputar, kalian akan diminta berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ingat! Indonesia Raya dudu Cidro.
Selamat menonton, fellas!!!
0 Response to "Review Film Bumi Manusia"
Post a Comment